Negara Hukum, Rakyat yang Terluka

20240930001614

Dalam negara hukum yang demokratis, kekuasaan sejatinya dijalankan untuk memenuhi mandat konstitusional: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, belakangan, kita dihadapkan pada kenyataan yang memprihatinkan: negara tampak gagap mensejahterakan rakyatnya, tetapi justru semakin lihai menyengsarakan mereka melalui kebijakan yang menambah beban, mereduksi hak, dan menutup ruang partisipasi publik.

Meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok, naiknya tarif layanan dasar, serta bertambahnya kewajiban pajak rakyat kecil bukanlah sekadar data statistik, melainkan wujud konkret kegagalan negara menjalankan amanat konstitusi. Sayangnya, bukan hanya abai, negara malah tampak hadir sebagai beban tambahan dalam kehidupan rakyat.

Dalam konsepsi klasik teori hukum, negara hadir sebagai “organisasi kekuasaan tertinggi” yang mengatur hidup bersama secara adil dan beradab. Dalam kerangka konstitusi Indonesia, negara bahkan berfungsi sebagai alat rekayasa sosial untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Namun kini, makna negara seakan tereduksi menjadi institusi pemungut dan pengatur belaka, bukan pelayan atau pelindung warga negara.

Sejumlah kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat menegaskan arah yang menyimpang dari cita-cita negara hukum progresif. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan, beban pajak berganda terhadap pelaku UMKM, pungutan sekolah atas nama sumbangan sukarela, hingga harga pangan yang melesat tanpa kontrol, menandakan bahwa pemerintah gagal menjalankan fungsi distribusi keadilan sosial.

Ironisnya, negara begitu cepat memberi kemudahan kepada korporasi besar melalui insentif fiskal, pengampunan pajak, hingga pembebasan lahan. Ketika rakyat kecil ditagih setiap rupiah, korporasi justru diberi karpet merah demi dalih pertumbuhan ekonomi.

Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin. Namun di lapangan, rakyat justru dicekik oleh mekanisme ekonomi yang tidak adil dan sistem hukum yang tumpul ke atas. Negara, alih-alih menjadi perpanjangan tangan keadilan, justru bertindak sebagai pemelihara status quo ketimpangan.

Tak sedikit regulasi yang dibuat tergesa-gesa, minim partisipasi, dan terkesan hanya berpihak pada investor. Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan melalui Omnibus Law, misalnya, menghapus banyak hak dasar buruh. Padahal, pekerja adalah tiang utama ekonomi nasional. Begitu pula dengan pengesahan UU Minerba, yang lebih banyak mengakomodasi kepentingan pemodal dibandingkan lingkungan hidup dan komunitas adat.

Perilaku legislatif yang tunduk pada kekuasaan eksekutif tanpa checks and balances mencerminkan kemunduran demokrasi. Hukum tidak lagi menjadi pelindung, tetapi alat pengendali.

Kebijakan yang Menyengsarakan

Saat negara gagal mensejahterakan, seharusnya ia tak membuat rakyat semakin menderita. Namun fakta yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat diminta membayar lebih untuk layanan publik yang kualitasnya stagnan. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan harus membayar untuk sesuatu yang semestinya menjadi hak dasar, seperti akses air bersih, pendidikan dasar, atau layanan kesehatan.

Tengok saja kasus di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, saat seorang bidan harus mengarungi sungai dengan bahaya demi melayani pasien di daerah terpencil. Baru setelah peristiwa itu viral, barulah pemerintah daerah dan provinsi bergerak. Fenomena “viral dulu, baru dibantu” adalah tanda bahwa negara bekerja bukan berdasarkan keadilan, melainkan popularitas.

Kebijakan negara sering kali lahir dari ruang tertutup, bukan dari dialog terbuka. Partisipasi publik yang diamanatkan dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kerap diabaikan. Akibatnya, banyak kebijakan tidak menyentuh akar persoalan, bahkan memperparah penderitaan rakyat.

Data BPS menunjukkan bahwa Gini Ratio Indonesia tetap tinggi, menandakan kesenjangan yang memburuk. Sementara kelas menengah ke bawah berjuang mempertahankan hidup, segelintir elite ekonomi dan politik menikmati privilese melalui akses kebijakan. Ketimpangan ini menjadi bom waktu sosial jika terus dibiarkan tanpa intervensi nyata negara.

Fungsi korektif negara dalam ekonomi tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Negara wajib hadir untuk melakukan intervensi dalam bentuk subsidi, jaminan sosial, hingga redistribusi aset agar masyarakat yang paling lemah tidak terjerembab dalam jurang kemiskinan struktural.

Namun, belanja negara masih lebih banyak terserap oleh proyek-proyek infrastruktur besar yang kerap tidak efisien dan sarat masalah. Alih-alih memperkuat sektor publik, negara justru menyerahkan sektor strategis kepada swasta. Ketergantungan pada investor membuat negara mudah dipengaruhi, bahkan kehilangan kedaulatan dalam merumuskan kebijakan.

Hukum Tak Berdaya, Rakyat Terdesak

Dalam teori Radbruch, hukum yang bertentangan dengan keadilan bukanlah hukum. Bila hukum hanya mengabdi pada kekuasaan dan abai terhadap penderitaan rakyat, maka hukum telah kehilangan legitimasinya. Di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana hukum kerap membisu saat berhadapan dengan elite, tapi bertaring saat menghadapi rakyat kecil.

Rakyat kecil bisa dipenjara karena mencuri sebutir semangka, sementara pelaku korupsi triliunan rupiah bisa menghirup udara bebas berkat abolisi, remisi, atau celah hukum lainnya. Di sinilah krisis kepercayaan terhadap sistem hukum dan negara semakin dalam.

Ketika hukum hanya menjadi alat kekuasaan, maka rakyat kehilangan harapan. Dan ketika rakyat kehilangan harapan terhadap hukum, maka negara berada di ambang krisis legitimasi.

Membangun negara hukum yang berpihak pada rakyat bukan hal mustahil, tetapi membutuhkan komitmen dan keberanian politik. Pertama, negara harus kembali pada fungsi utamanya: menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial. Bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, melainkan pemerataan hasil pembangunan yang nyata dirasakan rakyat.

Kedua, reformasi kebijakan harus dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Setiap keputusan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus melibatkan publik, bukan hanya elite penguasa dan pengusaha.

Ketiga, supremasi hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Negara tidak boleh membiarkan hukum dijadikan alat untuk membungkam suara-suara kritis atau membebaskan elite yang melanggar.

Keempat, pemimpin publik harus memiliki kepekaan sosial, bukan sekadar sensitivitas elektoral. Kebijakan tidak bisa hanya berbasis data, tetapi harus juga menyentuh nurani. Jika rakyat menangis dan negara tak mendengar, maka tak ada lagi yang bisa dipercaya dari kekuasaan itu.

Jika negara tak mampu mensejahterakan, janganlah menyengsarakan. Itulah prinsip paling dasar dari kontrak sosial antara rakyat dan negara. Kesejahteraan bukanlah hadiah, tetapi hak yang dijamin konstitusi. Dan hak itu harus diperjuangkan, bukan dikorbankan atas nama pembangunan semu.

Negara tidak boleh hanya hadir ketika menagih, menghukum, dan mengatur. Ia harus juga hadir ketika rakyat membutuhkan perlindungan, keadilan, dan penghidupan yang layak. Karena negara bukan hanya mesin administratif, tetapi wajah dari moral kolektif kita sebagai bangsa.

Artikel Terkait

Rekomendasi