Korupsi yang terjadi di tingkat desa bukanlah hal baru dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia. Semakin hari kasus-kasus ini seolah menunjukkan wajah suram pemerintahan desa yang seharusnya menjadi ujung tombak pembangunan di akar rumput malahan berbanding terbalik. Hal itu dapat dilihat dari pelbagai kasus korupsi dana desa yang mulai bermunculan ke permukaan yang berada di Kabupaten Kampar, Riau. Kasus korupsi dana desa ini kembali mencuat dengan penahanan seorang mantan kepala desa.
Salah satu kasus yang terbaru melibatkan mantan Kepala Desa Teratak, Kecamatan Rumbio Jaya. Ia diduga melakukan penyalahgunaan dana desa dalam APBDes tahun anggaran 2019 yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 454 juta. Kasus ini merupakan limpahan dari Polres Kampar ke Kejaksaan Negeri Kampar, dan sang mantan kepala desa dikenai pasal terkait tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Bukan sampai disana saja, salah satu contoh kasus terbaru yang menyorot perhatian adalah dugaan korupsi dana desa di beberapa desa di Kabupaten Kampar, Riau, termasuk yang terjadi di Desa Tanah Merah, Kecamatan Siak Hulu. Kasus dugaan korupsi dana desa di Kabupaten Kampar, terutama di Desa Tanah Merah, merupakan bukti nyata bahwa pengelolaan keuangan desa masih jauh dari kata akuntabel. Dana desa yang dialokasikan pemerintah pusat melalui program Dana Desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dengan memperbaiki infrastruktur, memberikan bantuan sosial, hingga meningkatkan ekonomi lokal. Sayangnya, harapan ini sering kali tak tercapai karena adanya praktik korupsi yang menggerogoti anggaran. Di Kampar, dugaan korupsi muncul karena adanya indikasi penyalahgunaan dana yang melibatkan aparatur desa. Investigasi awal menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara laporan keuangan dengan realisasi di lapangan. Proyek-proyek pembangunan yang seharusnya selesai justru mangkrak, sementara anggaran telah diklaim habis terpakai.
Inspektorat yang Lamban: Antara Kelalaian atau Ada Permainan?
Masalah ini diperparah oleh lambannya respons dari pihak Inspektorat Kabupaten Kampar. Inspektorat sebagai pengawas internal pemerintahan daerah seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendeteksi, menginvestigasi, dan menindaklanjuti setiap indikasi penyimpangan yang terjadi. Namun, dalam kasus Desa Tanah Merah, proses investigasi berjalan sangat lambat. Laporan dari warga telah masuk sejak berbulan-bulan lalu, namun belum ada langkah konkret yang diambil.
Lambannya kinerja Inspektorat ini patut dipertanyakan. Apakah memang karena kapasitas dan sumber daya yang terbatas, atau justru ada faktor lain seperti kedekatan antara aparatur desa dengan pejabat Inspektorat? Dalam banyak kasus, lambatnya investigasi kerap dikaitkan dengan praktik “kongkalikong” antara pihak yang dilaporkan dengan pengawas. Jika dugaan ini benar, maka tidak hanya terjadi korupsi di tingkat desa, tetapi juga melibatkan oknum di lingkup pemerintahan yang lebih luas.
Akibat dan Dampak Sistemik bagi Masyarakat
Dampak dari kasus korupsi desa ini sangat besar. Masyarakat yang seharusnya mendapatkan manfaat dari pembangunan desa malah menjadi korban ketidakadilan. Proyek infrastruktur yang mangkrak membuat aksesibilitas desa terganggu, program ekonomi mikro yang tidak dijalankan menghambat potensi usaha kecil, dan pada akhirnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin terkikis. Lebih dari itu, korupsi di tingkat desa juga menghambat tujuan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan di daerah. Jika tidak ada tindakan tegas, ini akan menciptakan efek domino, di mana kepala desa lain yang korup akan merasa aman karena yakin mereka dapat lolos dari jeratan hukum dengan mudah.
Menurut Lembaga Kebijakan Publik Indonesia (LKpIndonesia), untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan audit independen terhadap keuangan desa di Kampar, termasuk Desa Tanah Merah. Ini penting untuk memastikan bahwa investigasi tidak terpengaruh oleh intervensi dari pihak yang berkepentingan. Pemerintah daerah harus memperkuat kapasitas Inspektorat dengan menambah personel yang kompeten serta melibatkan lembaga pengawas eksternal, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam investigasi yang lebih serius. Pemerintah desa wajib membuka laporan keuangannya kepada publik sebagai bentuk transparansi.
Selain itu, melibatkan masyarakat dalam pengawasan anggaran desa dapat menjadi langkah efektif untuk mencegah korupsi sejak awal. Pihak berwenang harus segera memproses dan menindaklanjuti temuan kasus korupsi ini secara cepat dan tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang tegas akan memberikan efek jera dan menjadi contoh bagi aparatur desa lainnya.
LKpIndonesia berpendapat bahwa korupsi dana desa adalah suatu bentuk pengkhianatan terhadap masyarakat desa. Pemerintah pusat telah berupaya keras memberikan dana untuk pembangunan di tingkat desa, namun upaya tersebut tidak akan berdampak positif jika dana tersebut disalahgunakan oleh segelintir orang yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.
Inspektorat dan pihak berwenang di Kabupaten Kampar harus segera bertindak untuk memperbaiki situasi ini, bukan hanya demi menegakkan hukum, tetapi juga demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa dan daerah. Jika tidak ada perbaikan, maka program Dana Desa yang seharusnya menjadi solusi pembangunan justru akan menjadi ladang korupsi baru. Masyarakat menunggu aksi nyata, bukan sekadar janji penegakan hukum yang kerap kali diabaikan.