Mengurai Kesepakatan Tarif AS–China: Peluang atau Ancaman Bagi Ekonomi Dunia?

099265200_1547522804-Perang_Dagang_AS_CHINA

Pada 12 Mei 2025, dunia dikejutkan oleh rilis pernyataan bersama antara Amerika Serikat dan China terkait negosiasi tarif impor yang telah berlangsung alot selama beberapa bulan terakhir. Bertempat di Jenewa, Swiss, kedua negara yang selama ini berperan sebagai poros dominan dalam ekonomi global, akhirnya sepakat untuk menurunkan tarif secara signifikan: dari level tertinggi 145% (AS) dan 125% (China) menjadi masing-masing 30% dan 10%. Perubahan mendadak namun dinanti ini menandai momentum de-eskalasi baru dalam ketegangan perang dagang yang selama ini menjadi momok global.

Pertanyaannya: apakah kesepakatan ini sungguh-sungguh memberi angin segar bagi tatanan perdagangan dunia, atau justru hanya sekadar jeda strategis di tengah rivalitas geopolitik yang semakin menajam?

Kesepakatan ini, sebagaimana dirilis laman resmi Gedung Putih dan Kementerian Perdagangan China, memuat komitmen bersama untuk menghentikan spiral balas-membalas tarif yang berisiko memperparah pelemahan ekonomi global. AS dan China mengakui bahwa hubungan perdagangan mereka bukan hanya bersifat bilateral, melainkan sistemik—mempengaruhi rantai pasok dunia, harga bahan baku, serta stabilitas moneter internasional.

Melihat konteks politik dalam negeri masing-masing negara, perjanjian ini lebih dari sekadar hasil diplomasi dagang. Bagi pemerintahan AS yang tengah bersiap menghadapi pemilu, peredaan ketegangan ekonomi bisa dilihat sebagai pencapaian yang akan dijual sebagai keberhasilan domestik. Bagi China, kestabilan dagang sangat vital untuk menjaga narasi “pertumbuhan berkualitas” yang kini menjadi pilar dalam agenda ekonomi Xi Jinping.

Seperti kata Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala, kesepakatan ini ibarat “angin segar setelah kemarau panjang.” Tapi ia pun menambahkan dengan hati-hati: angin ini hanya berguna jika diarahkan menuju pelayaran jangka panjang yang stabil dan berkeadilan.

Ancaman Unilateralitas dan Tantangan Multilateralisme

Dalam perspektif hukum internasional, khususnya dalam kerangka WTO, tindakan tarif unilateral yang dilakukan AS sejak era Donald Trump dianggap menyimpang dari prinsip Most-Favoured Nation (MFN) dan Non-Discrimination. Retorika proteksionisme yang terus digunakan, bahkan setelah perubahan administrasi, menunjukkan bahwa sistem hukum perdagangan multilateral saat ini tengah berada di bawah tekanan serius.

Tarif yang sebelumnya diberlakukan AS terhadap China—hingga 145% untuk barang elektronik dan logam—mencerminkan penyalahgunaan mekanisme pengamanan (safeguards) dan anti-dumping secara strategis. Walau kini tarif itu diturunkan, belum ada jaminan bahwa mekanisme seperti ini tidak akan dihidupkan kembali ketika ketegangan memuncak.

Dari sisi China, tanggapan balasan berupa tarif tinggi dan hambatan non-tarif terhadap perusahaan-perusahaan AS menunjukkan bahwa WTO bukan lagi satu-satunya arena penyelesaian sengketa dagang. Pertarungan antar kekuatan ekonomi besar kini terjadi juga di balik meja perundingan bilateral, di arena teknologi, bahkan di ranah militer.

Bagi negara seperti Indonesia, kesepakatan ini memberi peluang sekaligus ancaman. Peluang muncul karena normalisasi tarif akan mengurangi volatilitas pasar ekspor-impor, terutama yang selama ini terdampak secara tidak langsung akibat gangguan rantai pasok AS-China. Dengan menurunnya tarif, biaya logistik dan produksi dapat ditekan, dan stabilitas pasokan bahan baku dapat kembali terjaga.

Membaca Masa Depan Perdagangan Dunia

Kesepakatan ini bisa juga mengkonsolidasikan dominasi pasar oleh kedua negara. Jika AS dan China kembali memperkuat kerja sama industrinya, negara berkembang berpotensi tersingkir dari pasar tertentu karena kalah bersaing dari segi teknologi dan efisiensi. Apalagi jika dalam kesepakatan tersebut terselip klausul-klausul diskriminatif dalam bentuk subsidi domestik atau pengaturan teknis tertentu.

Dalam konteks ini, Indonesia harus waspada. Perlu langkah antisipatif dari otoritas perdagangan dan kementerian luar negeri untuk memastikan bahwa kesepakatan bilateral dua kekuatan besar ini tidak menjadi preseden buruk bagi pelemahan sistem perdagangan global yang adil dan transparan.

Yang menarik, kesepakatan ini juga memuat pembentukan mekanisme konsultatif tahunan antara AS dan China untuk mencegah konflik dagang di masa mendatang. Ini mengindikasikan bahwa dua kekuatan besar ini secara sadar ingin menciptakan kerangka kerja bilateral semi-institusional di luar WTO. Pertanyaannya, apakah ini akan menjadi contoh baru bagi negara lain untuk melakukan hal serupa? Jika iya, kita berhadapan dengan risiko erosi sistem perdagangan multilateral.

Sebagai penutup, perlu disadari bahwa kesepakatan tarif AS-China ini bukan akhir dari konflik, melainkan awal dari konfigurasi baru hubungan dagang internasional. Di tengah ketidakpastian global, setiap negara harus mampu membaca arah angin, menyesuaikan layar, dan tidak terlena oleh retorika diplomatik semata. Stabilitas dagang yang dihasilkan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari kerja keras, negosiasi cerdas, dan kepemimpinan yang berorientasi pada keadilan global.

Indonesia, dalam posisi sebagai negara berkembang dengan pasar besar dan potensi strategis di Asia Tenggara, semestinya mengambil peran aktif dalam membentuk tatanan dagang yang lebih berimbang. Kita tidak boleh hanya menjadi penonton dari pertarungan dua raksasa yang terus mencari celah dalam sistem hukum perdagangan yang selama ini kita junjung.

Artikel Terkait

Rekomendasi