Permasalahan sengketa tanah di Indonesia menjadi salah satu isu hukum yang tidak kunjung menemukan titik terang. Dalam berbagai kasus, konflik agraria melibatkan individu, perusahaan swasta, hingga negara. Hal ini menjadi gambaran kompleksitas pengelolaan tanah di Indonesia, yang sering kali berujung pada ketidakadilan hukum dan sosial. Masalah utama dalam sengketa tanah sering kali berasal dari lemahnya administrasi pertanahan.
Meskipun pemerintah telah menerapkan program sertifikasi tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), implementasinya belum sepenuhnya mampu menyelesaikan konflik. Tumpang tindih sertifikat, tanah yang tidak terdaftar, dan praktik mafia tanah menjadi tantangan besar. Sebagai contoh, banyak kasus di mana pihak yang lebih kuat secara ekonomi dan politik mampu menguasai tanah melalui sertifikat ganda atau manipulasi dokumen, sementara masyarakat kecil tidak memiliki akses hukum yang memadai untuk mempertahankan haknya.
Lemahnya digitalisasi dan transparansi data pertanahan memperburuk situasi ini. Di Indonesia, dualisme hukum pertanahan antara hukum adat dan hukum negara sering menjadi penyebab konflik. Masyarakat adat memiliki sistem pengelolaan tanah yang berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ketika tanah adat digarap tanpa izin masyarakat lokal oleh perusahaan atau pemerintah, konflik sering kali terjadi.
Contoh nyata adalah kasus sengketa tanah adat di Papua, Kalimantan, dan Sumatera, di mana tanah-tanah adat dikuasai untuk kepentingan eksploitasi sumber daya alam tanpa melalui konsultasi dan persetujuan masyarakat adat setempat. Selain itu juga ada tanah yang dilakukan manipulasi oleh oknum pemerintah desa, kecamatan serta instansi negara lainnya. Yang dikenal dengan sebutan mafia tanah.
Mafia Tanah dan Dasar Hukum
Mafia tanah adalah salah satu aktor yang memperparah sengketa tanah di Indonesia. Mereka sering kali memanfaatkan celah hukum untuk memalsukan dokumen atau bekerja sama dengan oknum di lembaga pemerintahan untuk mengamankan kepemilikan tanah secara ilegal. Mafia tanah tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum.
Kasus mafia tanah yang melibatkan publik figur seperti pejabat negara menunjukkan bahwa masalah ini membutuhkan perhatian serius. Sayangnya, penegakan hukum sering kali lemah atau terhambat oleh kepentingan tertentu.
Masalah mafia tanah di Indonesia telah menjadi isu serius yang menghambat pembangunan nasional dan merugikan masyarakat, khususnya mereka yang tidak memiliki akses ke perlindungan hukum yang memadai. Keberadaan mafia tanah menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem hukum dan tata kelola agraria yang perlu segera diatasi.
Dasar hukum terkait mafia ini, dapat dilihat pada regulasi yang sesuai seperti; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA merupakan landasan utama pengaturan agraria di Indonesia. Pasal-pasal dalam UUPA mengatur prinsip penguasaan tanah oleh negara untuk kepentingan rakyat. Namun, celah dalam implementasinya sering dimanfaatkan oleh mafia tanah untuk memalsukan dokumen atau mengklaim lahan yang bukan miliknya. Selain itu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 263 KUHP mengatur tentang pemalsuan dokumen, termasuk sertifikat tanah. Mafia tanah sering menggunakan dokumen palsu untuk menguasai lahan secara ilegal. Hukuman bagi pelaku pemalsuan ini dapat mencapai 6 tahun penjara.
Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, memberikan ruang untuk menindak aparat yang terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam tata kelola pertanahan. Pelibatan aparat menjadi salah satu modus operandi mafia tanah. Dan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Aturan ini mengatur tentang proses pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum. Lemahnya pengawasan dalam pendaftaran tanah sering dimanfaatkan mafia tanah.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK). UU ini memperkenalkan penyederhanaan proses perizinan tanah, tetapi juga menuai kritik karena dianggap dapat membuka peluang bagi mafia tanah untuk lebih leluasa menguasai lahan. Praktik mafia tanah sering melibatkan oknum aparat yang seharusnya menjadi pelindung hukum masyarakat. Reformasi birokrasi yang tegas diperlukan untuk memutus mata rantai ini. Tidak terintegrasinya data pertanahan di berbagai instansi menjadi salah satu penyebab rawannya pemalsuan dokumen. Banyak masyarakat, terutama di pedesaan, tidak memahami hak-haknya atas tanah, membuat mereka mudah menjadi korban mafia tanah.
Penyelesaian dan Penegakan Hukum
Penyelesaian masalah mafia tanah membutuhkan komitmen lintas sektor, mulai dari penegakan hukum yang tegas hingga pembenahan administrasi pertanahan. Digitalisasi sistem pendaftaran tanah melalui program One Map Policy merupakan langkah maju yang patut diapresiasi. Selain itu, pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan hukum dan penyediaan akses terhadap bantuan hukum harus menjadi prioritas pemerintah. Hanya dengan langkah terpadu dan konsisten, masalah mafia tanah dapat diatasi, memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dan mendukung pembangunan berkeadilan.
Untuk menyelesaikan persoalan sengketa tanah yang kompleks ini, diperlukan langkah-langkah strategis sebagai berikut: Langkah Pertama, dengan cara melakukan digitalisasi dan transparansi administrasi pertanahan; pemerintah perlu mempercepat digitalisasi data pertanahan dengan menerapkan sistem blockchain untuk memastikan bahwa data tidak dapat dimanipulasi. Sistem ini juga dapat meningkatkan transparansi akses informasi bagi masyarakat.
Langkah Kedua, melakukan serta melaksanakan rekognisi dan perlindungan tanah adat; negara harus mengakui dan melindungi tanah adat melalui kebijakan afirmatif. Penyelesaian konflik adat dapat dilakukan melalui mediasi berbasis budaya lokal, dengan pendampingan hukum yang memadai.
Langkah Ketiga, Pemberantasan mafia tanah; penegakan hukum harus diarahkan untuk membongkar jaringan mafia tanah, termasuk dengan memproses hukum oknum yang terlibat di dalamnya. Selain itu, sanksi yang tegas dan berat perlu diterapkan sebagai efek jera.
Langkah Keempat, dengan cara melakukan reformasi hukum agraria; revisi UUPA dan regulasi terkait diperlukan untuk memperkuat perlindungan hak atas tanah masyarakat kecil. Sinkronisasi antara hukum nasional dan hukum adat harus menjadi prioritas dalam reformasi ini.
Sengketa tanah di Indonesia adalah permasalahan multidimensi yang membutuhkan pendekatan komprehensif dan berkeadilan. Reformasi hukum agraria, penegakan hukum terhadap mafia tanah, serta penguatan hak masyarakat adat menjadi kunci untuk menyelesaikan konflik ini. Pemerintah, masyarakat, dan lembaga hukum harus berkolaborasi untuk memastikan bahwa pengelolaan tanah di Indonesia tidak hanya berdasarkan legalitas, tetapi juga moralitas dan keadilan sosial. Hal ini harus segera diatasi, konflik tanah tidak hanya akan menciptakan ketidakpastian hukum, tetapi juga mengancam stabilitas sosial dan ekonomi bangsa.