Di tengah arus deras digitalisasi dan derasnya peredaran informasi melalui media sosial, sebuah ironi mencuat ke permukaan: pejabat publik kita seakan hanya “tersentak sadar” ketika sebuah peristiwa atau persoalan menjadi viral. Dari persoalan jalan rusak, anak putus sekolah, rumah roboh, hingga pelayanan rumah sakit yang tak manusiawi semuanya seolah luput dari perhatian hingga akhirnya menuai kemarahan publik di jagat maya. Setelah itu, barulah para pejabat ramai-ramai turun ke lapangan, seolah-olah telah siaga sejak awal.
Pertanyaannya, ke mana sebenarnya sistem pengawasan dan deteksi dini kita? Apakah media sosial kini menjadi satu-satunya instrumen efektif untuk “menyentil” telinga para penguasa? Dan mengapa respons birokrasi selalu reaktif, bukan preventif atau proaktif?
Budaya “Kebakaran Jenggot”
Fenomena ini menunjukkan bahwa birokrasi kita belum sepenuhnya berlandaskan tata kelola pemerintahan yang baik. Ada kecenderungan besar bahwa banyak pejabat tidak bekerja berdasarkan indikator capaian, tetapi berdasarkan tekanan publik yang viral. Jika sebuah isu tak disorot media atau tidak viral, maka potensi untuk diabaikan sangat besar.
Dalam kajian ilmu administrasi publik, ini disebut sebagai “governance based on public outrage”, bukan berdasarkan sistem, data, dan perencanaan jangka panjang. Akibatnya, urusan pemerintahan berubah dari pelayanan publik menjadi pengelolaan reputasi. Kecepatan tanggap ditentukan oleh intensitas kemarahan netizen, bukan oleh prinsip keadilan atau kepatutan.
Contoh nyata terbaru datang dari Sumatera Barat. Seorang bidan di Kabupaten Pasaman harus mempertaruhkan nyawanya dengan mengarungi derasnya sungai hanya untuk menjangkau warga di pelosok yang membutuhkan layanan kesehatan. Potret kegigihan ini justru menampar wajah sistem layanan dasar di negeri ini bahwa bahkan akses dasar bagi tenaga medis pun masih menjadi perjuangan.
Tragisnya, kisah ini baru mendapatkan perhatian serius setelah viral di media sosial. Barulah setelah itu, pejabat provinsi hingga pejabat kabupaten sibuk turun tangan, mengawal, meninjau, mengunggah kegiatan “pengecekan lapangan,” dan menjanjikan pembangunan jembatan atau akses jalan. Padahal, persoalan ini bukan baru terjadi sehari dua hari. Warga dan petugas medis setempat telah mengalami kondisi ini bertahun-tahun.
Jika tak diviralkan publik, mungkinkah kondisi tersebut akan terus dibiarkan? Di mana peran Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Sosial? Mengapa harus menunggu seorang bidan mempertaruhkan nyawa baru muncul perhatian?
Dimana Peran Hukum?
Dalam konteks hukum tata negara maupun hukum administrasi, pejabat publik memegang amanat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti bahwa setiap tindakan pemerintahan harus berdasar pada hukum, bukan semata-mata dorongan popularitas atau viralitas. UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahkan dengan tegas mengatur tentang kewajiban pejabat publik untuk bersikap profesional, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan.
Ketika pemerintah daerah lalai menjamin akses layanan dasar, apalagi dalam sektor strategis seperti kesehatan, maka dapat dikategorikan sebagai kelalaian administratif, bahkan berpotensi menjadi maladministrasi (vide: UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia).
Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan publik yang layak tanpa harus mempertontonkan penderitaan terlebih dahulu di media sosial. Ketika pejabat hanya tanggap setelah viral, berarti mereka tidak menjalankan asas kecermatan, keterbukaan, dan tanggung jawab yang menjadi prinsip dalam penyelenggaraan negara.
Lebih menyedihkan lagi, kita menyaksikan bahwa dalam banyak kasus, meme, video, atau narasi emosional di media sosial lebih berhasil menggugah perhatian pejabat daripada laporan resmi dari warga atau perangkat daerah. Ini merupakan gejala rusaknya sistem early warning system birokrasi yang semestinya dibangun berbasis data dan evaluasi rutin.
Sementara laporan dari masyarakat sering kali tersumbat oleh birokrasi lamban, pengaduan digital justru memotong jalan dan menghasilkan respons cepat. Namun, apakah ini hal yang patut dibanggakan atau justru mempermalukan sistem pemerintahan kita?
Negara Jangan Hanya Jadi Penonton
Negara tidak boleh menjadi penonton atas derita rakyatnya. Ketika seorang bidan terpaksa berenang melawan arus sungai demi tugas, dan pemerintah baru sadar karena postingan viral, maka sesungguhnya negara telah gagal hadir sebelum rakyat berteriak.
Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state), sebagaimana dimandatkan oleh Pembukaan UUD 1945, negara wajib melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Pelayanan publik bukan hadiah yang diberikan setelah rakyat “mengemis” lewat media sosial, melainkan hak konstitusional yang wajib dipenuhi secara merata dan adil.
Kita memerlukan perombakan menyeluruh dalam etika kerja pejabat publik. Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap pola tanggap birokrasi: apakah selama ini mereka benar-benar bekerja mendekat ke rakyat, atau hanya menunggu “alarm viral” untuk sekadar jaga citra.
Jika kita terus membiarkan model pelayanan publik yang reaktif terhadap viralitas, maka kita telah menggadaikan asas negara hukum demi logika jagat maya. Ini bukan hanya bahaya bagi demokrasi, tetapi juga ancaman serius terhadap kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
Desi Sommaliagustina














