Gagasan Prof. Satjipto Rahardjo tentang reformasi polisi sipil bukan sekadar rangkaian konsepsi akademik, melainkan refleksi mendalam atas relasi antara kekuasaan, hukum, dan kemanusiaan. Dalam pandangan beliau, hukum tidak boleh berhenti sebagai teks yang kaku, melainkan harus menjadi instrumen pembebasan dan perlindungan bagi rakyat. Kepolisian, sebagai alat negara yang bersentuhan langsung dengan warga, seharusnya menjadi manifestasi nyata dari semangat hukum progresif yakni hukum yang hidup, bergerak, dan berpihak kepada manusia.
Satjipto melihat bahwa institusi kepolisian selama Orde Baru telah terseret ke dalam kubangan kekuasaan yang represif. Polisi kehilangan identitasnya sebagai pelindung masyarakat dan lebih tampil sebagai perpanjangan tangan rezim. Inilah yang melahirkan kegelisahan intelektual di benak beliau, bagaimana memulihkan kembali polisi sebagai civil guardian, bukan state enforcer. Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia merupakan wujud nyata dari pergulatan ide tersebut. UU ini menandai transformasi konseptual bahwa polisi bukan lagi bagian dari angkatan bersenjata, melainkan institusi sipil yang berdiri di atas prinsip pelayanan, perlindungan, dan pengayoman.
Jika ditelusuri lebih jauh, bagi Satjipto, reformasi hukum tidak dapat berhenti pada perubahan struktur normatif. Ia selalu menekankan pentingnya paradigm shift pergeseran cara berpikir di tubuh kepolisian itu sendiri. Polisi progresif, menurutnya, adalah polisi yang memahami bahwa hukum bukan sekadar perintah, tetapi ruang dialog antara negara dan rakyat. Polisi harus memiliki empati sosial dan kesadaran moral, karena penegakan hukum yang kering dari nurani hanya akan melahirkan kekerasan dan ketidakadilan baru. Pandangan inilah yang membuat Satjipto menyerukan agar polisi “turun dari menara gading kekuasaan” dan kembali menyatu dengan denyut kehidupan masyarakat.
Buku Polisi Sipil dan Dinamika Perubahan Sosial menjadi kristalisasi pemikiran beliau. Di dalamnya, Satjipto mengurai bagaimana perubahan masyarakat baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya menuntut model kepolisian yang adaptif dan reflektif. Polisi tidak dapat terus bekerja dengan logika kekuasaan lama yang memandang rakyat sebagai objek pengawasan. Dalam masyarakat demokratis, relasi polisi dan warga harus dibangun atas dasar kepercayaan (trust), bukan ketakutan (fear). Oleh karenanya titik temu antara hukum progresif dan reformasi kepolisian yaitu hukum bukan menundukkan manusia, melainkan membebaskannya dari ketimpangan dan kekerasan struktural.
Gagasan ini sekaligus menjadi kritik tajam terhadap pendekatan legalistik yang selama ini mendominasi lembaga penegak hukum di Indonesia. Bagi Satjipto, law enforcement tanpa jiwa kemanusiaan adalah paradoks. Polisi yang hanya berpegang pada teks hukum tanpa memahami konteks sosial akan menjadi mesin penindas yang bekerja di bawah bendera legalitas semu. Oleh karena itu, hukum progresif menuntut agar setiap aparat penegak hukum, terutama polisi, menginternalisasi nilai-nilai moral dan keadilan substantif. Melalaui desain kerangka inilah, reformasi polisi sipil bukan semata soal restrukturisasi kelembagaan, tetapi lebih dalam yaitu transformasi kesadaran.
Satjipto menyadari bahwa cita-cita tersebut tidak mudah. Perubahan kultural di tubuh kepolisian memerlukan proses panjang dan berhadapan dengan resistensi birokrasi. Namun, beliau meyakini bahwa masa depan penegakan hukum di Indonesia bergantung pada sejauh mana polisi mampu menjadi bagian dari masyarakat, bukan entitas yang menakutkan masyarakat. Polisi harus belajar mendengar, memahami, dan menyayangi rakyatnya karena di situlah letak makna sejati dari “pelindung dan pengayom”.
Reformasi polisi sipil yang digagas Satjipto Rahardjo sesungguhnya adalah gerakan moral untuk mengembalikan kemanusiaan ke dalam hukum. Ia menolak pandangan bahwa hukum cukup ditegakkan dengan kekuasaan; baginya, hukum harus ditegakkan dengan kebijaksanaan dan empati. Paradigma ini menekankan bahwa polisi bukan penjaga ketertiban yang membisu, tetapi agen perubahan sosial yang sadar akan tanggung jawab etiknya terhadap rakyat. Dengan demikian, gagasan Satjipto tidak berhenti sebagai utopia akademik, melainkan sebagai panduan moral bagi transformasi institusi kepolisian menuju arah yang lebih manusiawi, demokratis, dan berkeadilan.

Pembelajar Ilmu Hukum Tata Negara
Aditya Andela Pratama, S.H.,M.H.













