Meme yang berisi narasi “Kasih Saya 271 T, Saya Siap di Penjara 6,5 Tahun” baru-baru ini menjadi viral di media sosial. Narasi ini, meskipun disampaikan dalam bentuk humor, menyentuh isu serius terkait penegakan hukum di Indonesia. Meme tersebut secara tidak langsung menggambarkan kritik terhadap ketimpangan hukum, khususnya dalam penanganan kasus-kasus besar yang melibatkan kerugian negara.
Narasi meme ini muncul dari ketidakpuasan masyarakat terhadap hukuman yang dianggap tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Ada sejumlah kasus besar yang melibatkan kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah, tetapi vonis terhadap pelakunya sering kali dianggap terlalu ringan. Vonis terhadap pelaku korupsi di Indonesia sering menuai kritik karena dianggap tidak memberikan efek jera. Sebagai contoh, dalam beberapa kasus korupsi besar, hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan besarnya kerugian negara. Bandingkan dengan pelaku tindak pidana kecil seperti pencurian ayam atau sepeda motor, yang sering dijatuhi hukuman lebih berat.
Meme ini seolah menyuarakan kegelisahan masyarakat bahwa korupsi yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah hanya mendapatkan hukuman beberapa tahun penjara. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah keadilan benar-benar ditegakkan, ataukah hukum hanya menjadi alat bagi kelompok tertentu?
Pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang memberikan ruang bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman minimal. Namun, penjatuhan hukuman minimal ini sering kali tidak mencerminkan kejahatan besar yang dilakukan oleh koruptor. Terdakwa korupsi sering kali menggunakan berbagai alasan seperti usia, kesehatan, atau kontribusi sebelumnya untuk meminta keringanan hukuman. Sayangnya, alasan-alasan ini sering kali diterima oleh hakim, sehingga hukuman yang dijatuhkan menjadi ringan.
Dalam banyak kasus korupsi, meskipun pelaku dihukum penjara, pengembalian kerugian negara (restitusi) tidak sebanding dengan nilai yang dikorupsi. Akibatnya, negara tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Meme tersebut mencerminkan realitas pahit bahwa masyarakat sering kali melihat hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, melainkan alat tawar-menawar. Meme ini juga menunjukkan bagaimana humor digunakan untuk menyampaikan kritik serius terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Hukuman yang ringan terhadap pelaku korupsi tidak hanya gagal memberikan efek jera, tetapi juga menciptakan persepsi bahwa korupsi adalah investasi dengan risiko rendah. Dalam banyak kasus, keadilan terasa berat sebelah. Hukum sering kali terasa lebih tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Meme ini menjadi simbol kekecewaan masyarakat terhadap bias sistem hukum tersebut. Sudah saatnya negeri ini melakukan reformasi sistem hukum dalam menindak korupsi.
Hal itu bisa dilakukan dengan cara; pertama, hukuman minimal untuk korupsi besar harus dinaikkan agar sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Selain itu, hukuman tambahan seperti denda dan restitusi wajib diterapkan secara tegas; kedua, perkuat pengawasan terhadap hakim. Sistem pengawasan terhadap putusan hakim harus diperketat untuk memastikan vonis yang dijatuhkan mencerminkan keadilan. Komisi Yudisial (KY) harus lebih aktif dalam mengawasi proses pengadilan; ketiga, dengan memberikan edukasi kepada publik tentang keadilan.
Pemerintah dan institusi hukum harus lebih transparan dalam menjelaskan logika di balik putusan pengadilan. Hal ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum; keempat, hukum harus sebagai alat restorasi, bukan hanya sekadar hukuman. Pengembalian kerugian negara harus menjadi prioritas utama dalam setiap kasus korupsi. Pelaku korupsi harus diwajibkan mengembalikan seluruh kerugian negara, bahkan jika itu berarti penyitaan seluruh asetnya.
Meme “Kasih Saya 271 T, Saya Siap di Penjara 6,5 Tahun” adalah ekspresi sederhana tetapi tajam dari ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem hukum. Ia mencerminkan betapa pentingnya reformasi hukum di Indonesia agar keadilan tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.