Mbah Tupon dan Standar Ganda Pemberantasan Mafia Tanah

Nusron Wahid
Nusron Wahid

Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid bahwa kasus Mbah Tupon belum dapat dikategorikan sebagai tindakan mafia tanah karena nilai ekonomi yang “kecil” dan karena tak adanya sindikasi yang luas, sungguh mencederai rasa keadilan publik. Pernyataan ini tidak hanya meremehkan penderitaan seorang warga lanjut usia yang menjadi korban, tetapi juga menunjukkan cara pandang elitis negara dalam mengukur bobot kejahatan agraria: bukan dari dampaknya terhadap korban, tetapi dari nilainya di atas kertas.

Mbah Tupon adalah simbol dari ribuan rakyat kecil yang menjadi korban ketimpangan sistem pertanahan di Indonesia. Meski nilai tanahnya tidak miliaran rupiah, hilangnya hak atas tanah bagi rakyat jelata seperti Mbah Tupon adalah kehilangan hidup itu sendiri. Tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan identitas, keberlanjutan hidup, dan warisan kultural. Ketika negara hanya menakar nilai kerugian secara nominal, maka negara sedang mempraktikkan kapitalisasi rasa keadilan—dimana hanya yang “besar” yang dianggap layak untuk dibela.

Apa yang dialami Mbah Tupon bukan sekadar pemalsuan dokumen, tetapi juga bentuk nyata dari pembiaran negara terhadap praktik penghilangan hak atas tanah. Dalam sistem hukum modern, perlindungan hukum seharusnya menjangkau siapa pun yang mengalami pelanggaran hak, tak peduli nilainya. Logika keadilan bukanlah logika kalkulasi finansial, melainkan logika etis yang berpihak pada korban.

Mafia tanah tidak harus berwujud jaringan besar dengan oknum aparat, notaris, dan pejabat dalam satu barisan. Mafia bisa bekerja dalam senyap, dalam bentuk pemalsuan sertifikat, manipulasi data yuridis, atau penghilangan jejak administratif, yang justru merampas tanah milik rakyat tanpa perlawanan berarti. Kasus Mbah Tupon menunjukkan ciri khas tersebut: ada pemalsuan, ada pengambilalihan hak, ada ketidakmampuan korban melawan. Apakah ini bukan modus mafia tanah hanya karena tidak melibatkan “aktor besar”?

Dengan cara pandang seperti ini, negara justru menciptakan celah hukum bagi mafia tanah untuk beroperasi dalam skala kecil dan menengah tanpa terdeteksi. Mereka tahu bahwa selama nilainya tak mencolok dan tak mengusik kepentingan besar, negara tidak akan bergerak. Ini adalah bentuk pembiaran yang sangat membahayakan.

Nusron Wahid juga memperlihatkan standar ganda dalam melihat kejahatan agraria. Ketika yang dirugikan adalah korporasi atau pemilik modal, negara bergerak cepat, bahkan bersedia menurunkan tim investigasi. Tapi ketika yang menjadi korban adalah seorang nenek tua di desa, negara dengan mudah mengategorikannya sebagai “penipuan biasa”. Ini mencerminkan kegagalan negara hadir dalam semangat konstitusi, yang mewajibkan perlindungan bagi setiap warga tanpa diskriminasi.

Lebih dari itu, pernyataan ini juga membuka pertanyaan publik: apakah negara hanya berpihak pada yang kuat, kaya, dan terorganisir? Jika demikian, maka semangat reforma agraria yang selama ini digembar-gemborkan hanya sebatas jargon.

Sebagai Menteri ATR/BPN, Nusron seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi rakyat dari praktik mafia tanah, bukan justru memberikan pernyataan yang mengerdilkan kasus. Jika pejabat tinggi menganggap kejahatan pertanahan sebagai hal sepele hanya karena nilainya kecil, maka mafia tanah akan semakin leluasa menargetkan rakyat kecil yang tidak mampu membela diri. Penegakan hukum dan perlindungan agraria tidak boleh bertumpu pada ukuran ekonomi semata.

Negara seharusnya menjunjung asas kehati-hatian, terutama dalam merespons kasus-kasus yang menyangkut hak hidup dan kepemilikan masyarakat. Jangan sampai sikap sembrono pejabat negara justru mempermalukan institusi dan membuka ruang baru bagi pelanggaran hak.

Dalam konteks hukum agraria nasional, setiap bentuk perampasan hak atas tanah—baik oleh perseorangan maupun kelompok—harus ditindak tegas tanpa melihat skala kerugian. Bahkan Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960 mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan untuk dijadikan objek spekulasi atau dipermainkan mafia tanah yang menjadikan hukum sebagai alat untuk menghilangkan hak.

Alih-alih menyatakan ini hanya “penipuan biasa”, negara seharusnya mengerahkan aparat untuk menyelidiki asal-usul sertifikat bermasalah, menelusuri keterlibatan pejabat, dan mengembalikan hak Mbah Tupon sebagai warga negara yang sah.

Jika negara serius memberantas mafia tanah, maka negara harus memulai dari kasus yang dianggap “kecil”. Sebab justru dari sinilah keteladanan ditegakkan, keberpihakan diuji, dan keadilan diperjuangkan. Jangan sampai rakyat kecil seperti Mbah Tupon hanya menjadi statistik dalam pidato, sementara haknya tetap raib karena negara gagal melihat kejahatan di balik pemalsuan.

Mbah Tupon mungkin hanya satu orang, tapi dalam dirinya terletak wajah Indonesia yang rapuh di hadapan sistem pertanahan yang timpang. Negara yang kuat bukanlah negara yang berpihak pada yang besar, tetapi negara yang melindungi yang paling rentan. Dan sampai hari ini, pernyataan Nusron Wahid justru menunjukkan hal sebaliknya.

Artikel Terkait

Rekomendasi