Masyarakat Berhak Uji UU TNI: Membantah Dalil DPR dan Pemerintah

Pemerintah dan DPR hadir di MK dalam rangka memberikan keterangan terkait UU TNI
Pemerintah dan DPR hadir di MK dalam rangka memberikan keterangan terkait UU TNI

Pemerintah dan DPR beranggapan bahwa pemohon Judicial Review terhadap UU TNI tidak memiliki pertautan langsung dengan TNI secara kelembagaan. Putusan MK terbaru Nomor 83/PUU-XXIII/2025 yang menolak uji formil karena dianggap tidak cukup bukti bahwa proses pembentukan UU TNI melanggar prinsip partisipasi publik. Namun, perlu diingat putusan MK tidak membenarkan pernyataan DPR dan Pemerintah tersebut hanya saja pemohon tidak cukup mempunyai bukti yang kuat. Pernyataan DPR dan Pemerintah yang mengatakan pemohon tidak mempunyai legal standing menggugat UU TNI adalah pendekatan sempit dan tidak sejalan dengan prinsip negara hukum Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945.

Membaca sistem demokrasi konstitusional, pembentukan undang-undang adalah proses politik hukum yang harus terbuka dan melibatkan partisipasi warga negara. UU TNI memang mengatur struktur dan fungsi kelembagaan TNI, tetapi dampaknya tidak terbatas pada institusi TNI semata namun bisa memengaruhi demokrasi, hak sipil, serta keseimbangan relasi sipil militer. Oleh sebab itu, warga negara tetap memiliki pertautan legal standing untuk mengajukan uji materi maupun formil terhadap UU TNI, karena mereka memiliki hak konstitusional untuk mengawasi arah kebijakan pertahanan dan memastikan supremasi sipil dijaga. Kemudian, Legal standing tidak boleh dimaknai secara sempit hanya pada pihak yang terdampak langsung, melainkan harus dilihat dari potensi pelanggaran hak konstitusional yang lebih luas. Inilah bentuk nyata dari partisipasi publik dan pengawasan internal terhadap produk hukum negara.

UU TNI adalah produk hukum nasional yang mengikat seluruh warga negara Indonesia. Pembentukannya melibatkan dua institusi yang mewakili kedaulatan rakyat yaitu DPR dan Pemerintah sehingga secara logika ketatanegaraan, masyarakat memiliki hak konstitusional untuk mengajukan keberatan apabila isi dari undang-undang tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945 atau merugikan hak-hak dasar warga negara. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU TNI bukan hanya hak, tetapi juga kebutuhan demokratis.

TNI dan masyarakat adalah dua entitas yang sama-sama berperan dalam menjaga kedaulatan negara, TNI melalui tugas pertahanannya sedangkan masyarakat melalui gagasan, kontrol, dan partisipasi aktif. Apabila masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembentukan UU seperti ini, maka akan timbul kerugian konstitusional, terutama dalam bentuk hilangnya akses terhadap pemahaman filosofis, arah kebijakan, dan tujuan strategis dari undang-undang tersebut.

Pada Prinsipnya siapa pun warga negara berhak mengajukan pengujian konstitusional atas UU sepanjang adanya bukti kerugian konstitusional bukan sebaliknya DPR dan Pemerintah memberikan narasi UU TNI tidak boleh disentuh oleh masyarakat yang bukan TNI. Pembatasan hanya kepada pihak yang memiliki hubungan langsung dengan TNI adalah bentuk penyempitan hak warga negara yang tidak sejalan dengan prinsip negara hukum demokratis. Pemerintah dan DPR Perlu meletakkan partisipasi masyarakat adalah fondasi utama legitimasi hukum dalam negara yang berdaulat atas dasar konstitusi.

Dalam logika sistem pemerintahan presidensial menjadi dalil argumentasi yang kuat mengapa elemen masyarakat harus dilibatkan dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI, dikarenakan logika ketatanegaraan dalam membahas undang-undang tersebut tidak dapat dilepaskan dari prinsip checks and balances serta akuntabilitas publik terhadap kekuasaan eksekutif. Dalam konteks ini, UU TNI bukan hanya instrumen teknokratik yang mengatur fungsi militer, tetapi juga merupakan bentuk distribusi dan pembatasan kekuasaan negara di sektor pertahanan. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam pembentukannya adalah bentuk pengawasan konstitusional terhadap potensi konsentrasi kekuasaan militer di tangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi. Tanpa pengawasan publik yang kuat, ketentuan dalam UU TNI berisiko membuka ruang penyimpangan atau perluasan peran militer ke ranah sipil yang bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi.

Lebih jauh, sistem presidensial yang sehat menuntut adanya keseimbangan antara kekuasaan negara dan kontrol publik, terutama pada aspek pertahanan yang sangat sensitif dan strategis. Tanpa partisipasi masyarakat, pembentukan UU TNI berpotensi lepas dari prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28C dan 28D UUD 1945. Pelibatan masyarakat dalam pembentukan dan pengawasan UU TNI bukan hanya aspek prosedural, tetapi menjadi prasyarat konstitusional dalam memastikan bahwa arah kebijakan pertahanan negara tetap dalam koridor demokrasi dan supremasi sipil.

Artikel Terkait

Rekomendasi