Liga Korupsi di Indonesia: Kompetisi yang Tak Kunjung Usai

Author PhotoDesi Sommaliagustina
27 Feb 2025
2d1f4573-7169-4bac-9a10-fe90fa9de3ed

Korupsi di Indonesia bak sebuah liga yang terus bergulir tanpa akhir. Seperti sebuah kompetisi, para pelaku berebut posisi dalam klasemen, berusaha mengakali sistem, dan bahkan ada yang menggunakan wasit untuk memastikan mereka tetap berada di puncak. Sayangnya, yang menjadi korban bukan hanya uang negara, tetapi juga kepercayaan publik terhadap hukum dan keadilan.

Setiap tahun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian menangkap sejumlah pejabat, politisi, dan pengusaha yang terlibat korupsi. Namun, tak lama setelah satu kasus terbongkar, muncul lagi kasus lain yang lebih besar. Seakan-akan korupsi telah menjadi pola sistemik yang sulit diputus.

Faktor utama yang membuat korupsi terus berulang adalah lemahnya efek jera. Banyak pelaku yang setelah menjalani hukuman justru kembali ke dunia politik atau bisnis tanpa rasa malu. Bahkan, ada yang setelah keluar dari penjara tetap dihormati dan diangkat kembali dalam jabatan strategis. Termasuk di era Presiden Prabowo Subianto saat ini. Kalau kita masih ingat apa yang dikatakan beliau, mulai jargon “omon-omon”, orasi memberantas para koruptor, entah apa lagi yang mau disebut. Ketika sudah terpilih menjadi presiden malahan berbanding terbalik. Apa ini yang disebut senjata makan tuan?

Dalam banyak kasus, hukuman yang dijatuhkan sering kali tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. Seorang koruptor yang merugikan negara miliaran hingga triliunan rupiah bisa mendapatkan hukuman ringan, sementara pencuri kecil bisa dijatuhi hukuman lebih berat.

Selain itu, adanya berbagai mekanisme pengurangan hukuman seperti remisi dan bebas bersyarat membuat banyak koruptor dapat menikmati kebebasan lebih cepat dari seharusnya. Hal ini memperburuk persepsi publik bahwa hukum di Indonesia lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Politik dan Korupsi
Korupsi di Indonesia bukan hanya soal individu, tetapi juga soal sistem politik yang tidak sehat. Biaya politik yang tinggi dalam pemilu membuat banyak politisi mencari jalan pintas untuk mendapatkan dana kampanye. Ujungnya, ketika mereka berkuasa, ada utang yang harus dibayar melalui berbagai bentuk korupsi, seperti suap, mark-up proyek, atau jual beli jabatan.

Sistem yang ada saat ini belum cukup kuat untuk menghalangi praktik tersebut. Transparansi pendanaan partai politik masih lemah, dan banyak celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh para elite untuk mempertahankan jaringan korupsi mereka.

Untuk mengakhiri liga korupsi ini, diperlukan reformasi hukum dan sistem politik yang lebih serius. Beberapa langkah yang bisa dilakukan yakni;
Pertama, meningkatkan hukuman bagi koruptor, termasuk memperketat aturan remisi dan bebas bersyarat. Kedua, memperkuat transparansi pendanaan partai politik agar politisi tidak tergoda mencari dana dari sumber ilegal. Ketiga, menjamin independensi penegak hukum, sehingga tidak mudah diintervensi oleh kepentingan politik. Keempat, mendorong keterlibatan publik dalam pengawasan, seperti memperkuat peran media dan masyarakat sipil dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Terakhir, membangun budaya antikorupsi sejak dini, dengan memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum sekolah. Jika perlu hukum mati saja para koruptor di negeri ini!

Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, liga korupsi akan terus berjalan, dan yang menjadi pemenang bukanlah rakyat, melainkan para koruptor yang lihai memainkan sistem. Sudah saatnya Indonesia berhenti menjadi kompetitor unggul dalam hal korupsi dan beralih menjadi negara dengan tata kelola yang bersih dan berintegritas.

Artikel Terkait

Rekomendasi