Lapor Polisi Harus Pakai Uang VS Asas “Non-discriminatory Access to Justice”

Author PhotoDesi Sommaliagustina
24 Jan 2025
Ilustrasi Oknum Polisi (www.viva.co.id).
Ilustrasi Oknum Polisi (www.viva.co.id).

Fenomena masyarakat yang mengeluhkan keharusan mengeluarkan uang saat melaporkan suatu perkara kepada pihak kepolisian menjadi isu yang kerap disorot dalam diskursus publik. Salah satu kasus yang tengah viral ini di instagram ini terjadi pada seorang pemilik warung Rumah Makan (RM) Padang di Makassar yang HPnya dicuri. Kasus ini viral berawal ketika salah satu oknum polisi meminta uang sebesar Rp.100.000,- kepada si Ibu. Dengan alasan untuk mengganti uang BBM untuk melakukan penangkapan terhadap pencuri tersebut.

Tentunya dnamika ini memunculkan berbagai persepsi negatif terhadap penegakan hukum di Indonesia. Dalam perspektif hukum, praktik ini memicu pertanyaan mendasar terkait akuntabilitas, transparansi, dan keadilan dalam pelayanan publik oleh institusi kepolisian. Dalam konteks negara hukum seperti Indonesia, kepolisian memiliki kewajiban untuk melayani, melindungi, dan mengayomi masyarakat sesuai dengan amanat Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketika seseorang melaporkan tindak pidana, ia tidak boleh dikenakan biaya apa pun karena proses tersebut adalah bagian dari tugas dan tanggung jawab negara dalam menegakkan hukum.

Lebih lanjut, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensinya, segala bentuk pelayanan publik, termasuk penanganan laporan oleh kepolisian, harus berdasarkan asas keadilan, tidak diskriminatif, dan bebas dari praktik pungutan liar. Realitas di lapangan sering kali menunjukkan adanya penyimpangan. Beberapa laporan masyarakat mengindikasikan bahwa dalam proses pelaporan, pelapor diminta untuk membayar sejumlah uang dengan alasan administrasi, operasional, atau bahkan untuk mempercepat proses penanganan kasus. Hal ini tentu bertentangan dengan asas non-discriminatory access to justice yang dijamin dalam hukum internasional dan nasional.

Praktik semacam ini dapat dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli)** yang bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya jika melibatkan unsur penyalahgunaan wewenang. Selain itu, pungli juga melanggar Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, yang menegaskan bahwa setiap bentuk pungutan liar harus diberantas.

Praktik pungli dalam penanganan laporan kepolisian memiliki dampak sistemik yang serius terhadap kepercayaan masyarakat pada institusi hukum. Ketika masyarakat merasa dipersulit atau dibebani biaya tambahan, akses mereka terhadap keadilan menjadi terhambat. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law, di mana setiap warga negara berhak diperlakukan sama di hadapan hukum tanpa memandang kemampuan ekonominya.

Dari sudut pandang hukum pidana, aparat yang melakukan praktik pungli dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 12 huruf e UU Tipikor, yang mengatur hukuman pidana bagi pejabat publik yang memeras atau meminta imbalan dalam menjalankan tugasnya. Untuk meminimalisir ataupun memberantas terkait hal ini, bisa dilakukak beberapa langkah.

Pertama ,institusi kepolisian perlu memperkuat mekanisme pengawasan internal untuk mencegah dan menindak tegas oknum yang terlibat dalam praktik pungli. Kedua, pihak kepolisian harus meningkatkan transparansi dalam prosedur pelaporan dan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa laporan tidak dikenakan biaya. Ketiga, masyarakat harus diberdayakan untuk melaporkan oknum yang meminta pungutan melalui jalur pengaduan resmi seperti Propam atau Ombudsman. Serta Implementasi sistem pelaporan online dapat mengurangi interaksi langsung yang berpotensi menjadi celah untuk pungli.

Praktik meminta uang dalam proses pelaporan kepada kepolisian bukan hanya mencoreng citra institusi penegak hukum, tetapi juga merusak prinsip keadilan yang menjadi landasan utama negara hukum. Oleh karena itu, perlu komitmen bersama antara pemerintah, institusi kepolisian, dan masyarakat untuk menghapuskan praktik ini demi menciptakan sistem hukum yang berkeadilan, transparan, dan terpercaya. Hanya dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dapat dipulihkan.

Artikel Terkait

Rekomendasi