Pernyataan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie dalam siniar Good Talk (11/3/2025) yang mengkritik sistem skripsi di perguruan tinggi Indonesia, telah menimbulkan polemik di kalangan akademisi. Sebagian menilai pernyataan tersebut menyederhanakan sistem penulisan tugas akhir, sementara yang lain mengapresiasinya sebagai upaya mendorong relevansi dan kualitas riset mahasiswa.
Terlepas dari isi kritik tersebut, terdapat pertanyaan hukum yang tak kalah penting untuk dibahas: sampai di mana batas kewenangan seorang pejabat negara dalam memberikan kritik terhadap sistem akademik? Apakah kritik tersebut termasuk dalam ruang lingkup kebebasan akademik, atau justru melampaui batas kewenangan yang diatur dalam kerangka hukum pendidikan nasional?
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan dijamin dalam perguruan tinggi. Dengan ketentuan tersebut, negara tidak boleh mengintervensi proses akademik secara sepihak, apalagi sampai menentukan bentuk baku dari ekspresi keilmuan seperti skripsi, tesis, atau disertasi.
Dalam konteks ini, pernyataan Wamen Stella dapat dinilai sebagai bentuk mimbar akademik seorang pejabat yang kebetulan juga berasal dari latar belakang akademik. Selama kritik tersebut tidak diikuti dengan tindakan koersif atau intervensi kebijakan yang melampaui kewenangan, maka kritik itu sah dalam konteks kebebasan berbicara dan kebebasan berpikir ilmiah yang dilindungi konstitusi.
Namun, harus diakui bahwa posisi pejabat negara membawa beban etis dan konstitusional yang lebih besar. Pernyataan publik seorang wakil menteri memiliki potensi memengaruhi kebijakan pendidikan tinggi nasional dan interpretasi publik terhadap arah akademik. Oleh karena itu, ketepatan diksi, konteks ilmiah, serta dasar hukum yang mendasari kritik sangatlah penting untuk diperhatikan.
Kewenangan Negara dan Batasannya
Kritik terhadap format skripsi sebagai terlalu prosedural harus dilihat dalam kerangka otonomi institusi perguruan tinggi. Pasal 11 UU Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa setiap perguruan tinggi berhak mengatur dan mengembangkan kurikulumnya, termasuk model penilaian dan sistem tugas akhir.
Oleh karena itu, tidak tepat apabila pejabat negara meski memiliki niat reformasi secara sepihak meragukan bentuk tugas akhir yang sudah menjadi bagian dari otonomi keilmuan institusi. Apalagi jika pernyataan tersebut dibingkai dalam narasi perbandingan dengan jurnal ilmiah internasional, yang memiliki fungsi dan konteks yang sangat berbeda.
Sebaliknya, jika niat Wamen adalah mendorong kebermanfaatan hasil penelitian mahasiswa dan integrasi dengan sistem publikasi, maka pendekatannya semestinya bersifat kolaboratif, bukan normatif. Negara sebaiknya berperan sebagai fasilitator kebijakan, bukan sebagai pemegang otoritas pengetahuan.
Dalam sistem hukum Indonesia, pejabat publik dibatasi oleh asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945: bahwa semua tindakan pemerintahan harus berdasarkan hukum, serta pembatasan atas kebebasan harus melalui undang-undang dan untuk tujuan konstitusional.
Maka, jika kritik Wamen diarahkan untuk memperbaiki sistem, ia harus dikukuhkan melalui regulasi formal, bukan sekadar opini pribadi yang berpotensi disalahpahami publik. Apalagi jika kemudian pernyataan itu dijadikan dasar untuk mengintervensi kurikulum atau tugas akhir secara sepihak, tanpa partisipasi komunitas akademik.
Reformasi akademik tidak bisa berjalan dengan pendekatan top-down, tetapi harus melibatkan perguruan tinggi sebagai subjek otonom yang setara. Negara wajib menghormati ruang otonomi akademik yang dijamin oleh hukum.
Kritik Wamen Stella bisa dikatakan bagian dari dinamika pembaruan pendidikan tinggi. Namun, dalam negara hukum, setiap kritik yang datang dari pejabat negara harus berakar pada prinsip legalitas, menghormati otonomi akademik, dan bersandar pada pendekatan kolaboratif.
Skripsi mungkin perlu direformasi, tetapi bukan dengan mereduksi prosedur sebagai musuh substansi. Hukum hadir untuk menjaga agar setiap perubahan terjadi secara beradab, terukur, dan sesuai mandat konstitusi keilmuan. Sebelum mengkritik lebih jauh, sebaiknya Buk Wamen baca kembali regulasi yang ada!