Dalam setiap pertemuan besar ASEAN, termasuk KTT terakhir yang digelar dengan penuh gegap gempita dan sorotan internasional, para pemimpin negara selalu berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, investasi, digitalisasi, dan daya saing kawasan. Namun ada satu hal yang kembali absen dari ruang diskusi strategis itu: perlindungan konsumen.
Padahal, konsumen adalah jantung dari aktivitas ekonomi. Setiap kebijakan perdagangan, setiap kesepakatan investasi lintas negara, bahkan setiap inovasi digital yang diagung-agungkan ASEAN pada dasarnya bergantung pada kepercayaan konsumen. Tanpa kepercayaan, pasar tunggal ASEAN yang diidamkan itu hanya akan menjadi panggung bagi korporasi besar, bukan ruang yang aman bagi masyarakat.
ASEAN dengan 680 juta penduduk adalah pasar raksasa dunia. Laporan ASEAN Consumer Confidence Index (2024) mencatat bahwa tingkat kepercayaan konsumen di kawasan ini meningkat pasca-pandemi, tetapi masih rapuh akibat maraknya penipuan daring, kebocoran data, dan ketimpangan harga antarnegara.
Indonesia, misalnya, kerap menjadi korban sistem perdagangan digital lintas batas yang belum diatur ketat. Produk dari negara tetangga dapat masuk dengan mudah ke pasar kita tanpa jaminan kualitas dan keselamatan. Sementara pelaku usaha domestik menghadapi regulasi ketat dan pungutan pajak yang tidak seimbang. Ketimpangan inilah yang menekan daya saing nasional sekaligus menurunkan perlindungan bagi konsumen dalam negeri.
KTT ASEAN dan Agenda yang Melenceng
Pertanyaan mendasar: mengapa isu perlindungan konsumen tidak masuk dalam agenda utama KTT ASEAN? Jawabannya sederhana: politik ekonomi ASEAN masih berpusat pada kepentingan korporasi, bukan rakyat.
KTT lebih sering menjadi arena diplomasi ekonomi tingkat tinggi—negosiasi tarif, infrastruktur digital, atau rantai pasok global—sementara aspek sosial, hukum, dan keamanan konsumen dianggap urusan domestik masing-masing negara.
Padahal, ASEAN sejak 2011 sudah memiliki ASEAN Committee on Consumer Protection (ACCP). Komite ini bertugas memperkuat koordinasi antarnegara anggota, namun tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Setiap kebijakan masih bergantung pada komitmen nasional. Itulah sebabnya, pembicaraan soal perlindungan konsumen jarang mendapat tempat di meja utama KTT—ia selalu ditempatkan sebagai isu pelengkap, bukan isu pokok.
Dalam era digital, perlindungan konsumen seharusnya menjadi prioritas bersama ASEAN. Lonjakan transaksi lintas batas melalui e-commerce, fintech, dan platform digital menimbulkan risiko baru: pencurian data pribadi, penyalahgunaan algoritma, dan produk tidak aman yang dijual tanpa sertifikasi.
Ironisnya, ketika KTT ASEAN membahas ASEAN Digital Economy Framework Agreement (DEFA), fokusnya justru pada efisiensi pasar dan integrasi bisnis, bukan pada perlindungan hak-hak konsumen digital. Tidak ada satu pun deklarasi kuat yang menyebut keharusan membangun regional data protection standard atau consumer redress mechanism lintas negara.
Padahal, dalam banyak kasus, konsumen yang dirugikan karena transaksi lintas batas nyaris tidak punya jalur hukum yang jelas. Misalnya, jika konsumen Indonesia tertipu oleh penjual asal Vietnam melalui platform regional, siapa yang bertanggung jawab? Negara asal, negara tujuan, atau perusahaan penyedia platform? Semua pihak cenderung saling melempar tanggung jawab.
Kelemahan Regulasi Nasional
Di Indonesia sendiri, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah tidak relevan dengan konteks perdagangan digital ASEAN. UU ini belum menjangkau aspek lintas batas, keamanan data, dan tanggung jawab platform daring.
Kementerian Perdagangan dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sebenarnya telah mendorong revisi regulasi tersebut, namun prosesnya lambat. Akibatnya, posisi Indonesia di forum ASEAN menjadi lemah. Tanpa payung hukum domestik yang kuat, Indonesia sulit menekan negara lain untuk menyepakati standar perlindungan konsumen regional.
Kondisi ini diperburuk oleh lemahnya koordinasi antarinstansi—antara Kemendag, Kominfo, dan OJK—dalam melindungi konsumen digital. Padahal, isu perlindungan konsumen lintas sektor inilah yang semestinya dibawa Indonesia sebagai agenda strategis di KTT ASEAN.
Sudah saatnya ASEAN memiliki Piagam Perlindungan Konsumen Regional—semacam ASEAN Consumer Charter—yang memberi pedoman hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa lintas negara. Prinsipnya harus sama dengan perlindungan investasi atau perdagangan bebas: adanya aturan yang mengikat, forum penyelesaian sengketa, dan standar perlakuan yang adil bagi semua warga negara.
Tanpa itu, integrasi ekonomi ASEAN hanya akan memperluas kesenjangan antara pelaku usaha besar dan konsumen kecil. Negara-negara anggota harus berani memposisikan konsumen bukan sekadar pasar, tetapi sebagai subjek hukum yang memiliki hak atas keamanan, informasi, dan keadilan.
Sebagai negara dengan pasar terbesar di kawasan, Indonesia seharusnya memimpin inisiatif ini. Alih-alih sekadar mengejar investasi atau mempromosikan e-commerce lintas negara, pemerintah Indonesia dapat mendorong pembentukan ASEAN Consumer Protection Task Force yang memiliki mandat memperkuat kerja sama penegakan hukum konsumen antarnegara.
Di tingkat domestik, pembaruan UU Perlindungan Konsumen juga harus segera disahkan dengan memperhatikan aspek digitalisasi dan transaksi lintas batas. Hanya dengan kerangka hukum yang kuat, Indonesia dapat berbicara lantang di forum ASEAN tentang pentingnya melindungi konsumen sebagai pilar utama ekonomi.
KTT ASEAN boleh saja membanggakan diri dengan capaian ekonomi makro. Tapi ketika jutaan konsumen masih rentan ditipu, datanya disalahgunakan, dan tidak tahu kemana harus mengadu, maka integrasi ekonomi yang dibanggakan itu kehilangan makna.
Perlindungan konsumen bukan sekadar urusan domestik—ia adalah wajah dari martabat kawasan. Jika ASEAN ingin benar-benar menjadi komunitas yang inklusif dan berkeadilan, maka sudah waktunya konsumen ditempatkan di pusat agenda politik ekonomi kawasan. Tanpa itu, ASEAN hanya akan terus menjadi pasar yang sibuk, tetapi tanpa pelindung bagi rakyatnya.
Desi Sommaliagustina













