Dalam upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas pejabat publik, Indonesia memiliki instrumen yang dikenal dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atau LHKPN. LHKPN adalah laporan yang wajib disampaikan oleh penyelenggara negara, termasuk kepala desa, untuk memberikan gambaran tentang aset yang dimilikinya sebelum, selama, dan setelah menjabat. Hal ini dimaksudkan agar terdapat mekanisme pengawasan guna mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kewajiban melaporkan LHKPN diatur dalam beberapa peraturan, diantaranya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan diperkuat oleh Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan LHKPN. Berdasarkan peraturan ini, kepala desa termasuk dalam kategori penyelenggara negara yang wajib melaporkan harta kekayaannya.
Kewajiban ini berlaku baik saat awal menjabat, selama masa jabatan, maupun saat mengakhiri jabatan. Meski kewajiban sudah jelas, masih banyak kepala desa yang belum melaporkan LHKPN. Beberapa alasan umum yang sering dikemukakan adalah: Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman; banyak kepala desa yang belum sepenuhnya memahami prosedur dan pentingnya LHKPN. Tidak ada pendampingan teknis; karena tidak adanya pendampingan teknis, kepala desa meras kesulitan dalam pengisian dan pelaporan LHKPN.
Hal ini sering menjadi kendala, terutama di daerah terpencil dengan alasan akses teknologi yang terbatas. Selain itu, kepala desa berpersepsi pelaporan tersebut menambah beban administrasinya di tengah banyaknya tugas yang harus dijalankan. Terakhir, kurangnya penegakan hukum dan rendahnya sanksi tegas membuat banyak kepala desa menganggap pelaporan LHKPN tidak mendesak. Dari pelbagai alasan yang diutarakan oleh Kepala Desa ini, tentunya kita pasti bertanya apa gunanya Sekretaris Desa, Tenaga Ahli Desa ataupun Pendamping Desa disana jika untuk melaporkan LHKPN saja tidak bisa membantu. Yang lebih parah lagi peran Badan Pengawas Desa (BPD) yang seakan tidak melaksanakan fungsinya. Seharusnya BPD selaku yang diberikan wewenang untuk mengawasi ini, malahan tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Meskipun kewajiban pelaporan LHKPN jelas diatur, sayangnya sanksi yang tegas sering kali belum diterapkan dengan konsisten. Beberapa sanksi yang bisa diterapkan antara lain:Pertama, Kepala desa yang tidak melaporkan LHKPN bisa dikenakan sanksi administratif, seperti teguran tertulis dari KPK atau instansi terkait. Sanksi administrasi juga bisa berupa penundaan kenaikan pangkat atau jabatan, jika kepala desa tersebut mengincar posisi lebih tinggi di pemerintahan. Kedua, Inspektorat Daerah bisa melakukan pemeriksaan dan pengawasan terkait kepatuhan kepala desa dalam melaporkan LHKPN. Ketiga, jika ditemukan pelanggaran, laporan akan diteruskan kepada KPK untuk ditindaklanjuti.
“Kepala Desa yang tidak mau melaporkan LHKPN sangat pantas dilaporkan dan diperiksa”
Jika terbukti terdapat perbedaan harta kekayaan yang signifikan dan tidak dapat dijelaskan, maka kepala desa bisa diduga melakukan tindak pidana korupsi. Ketidakpatuhan dalam melaporkan LHKPN dan juga bisa menjadi indikasi awal penyelidikan lebih lanjut oleh KPK, terutama jika ada laporan masyarakat tentang dugaan penyelewengan dana desa.
Menurut Lembaga Kebijakan Publik Indonesia (LKpIndonesia) seharusnya Kepala Desa yang tidak melaporkan LHKPN dapat dikenakan sanksi hukum. Sanksi yang diberikan tergantung pada tingkat kesengajaan dan dampak pelanggaran. Beberapa sanksi yang dapat diterapkan adalah: Teguran tertulis, Penundaan kenaikan pangkat, jabatan, atau penghasilan hingga pemberhentian sementara dari jabatan. LKpIndonesia beranggapan LHKPN merupakan bagian penting dalam upaya mencegah tindak korupsi. Laporan ini wajib disampaikan oleh Kades melalui situs e-LHKPN di elhkpn.kpk.go.id. Laporan tersebut meliputi harta yang dimiliki oleh Kades, pasangan, dan anak dalam tanggungan.
Menegakkan sanksi terhadap kepala desa yang tidak melaporkan LHKPN bukan hanya soal formalitas, tetapi juga bagian dari upaya menjaga integritas pemerintahan desa. Dana desa yang besar dan kewenangan yang luas membuat kepala desa memiliki potensi untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan desa berisiko disalahgunakan.
Di era pemerintahan saat ini, ketika fokus kebijakan ada pada percepatan pembangunan desa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, transparansi dalam pengelolaan aset dan kekayaan pejabat desa menjadi hal yang krusial. Kegagalan kepala desa dalam melaporkan LHKPN bisa menjadi sinyal buruk tentang kurangnya komitmen pada transparansi dan integritas.
Untuk meningkatkan kepatuhan kepala desa terhadap pelaporan LHKPN, beberapa langkah perlu diambil Pemerintah daerah dan KPK perlu memberikan edukasi lebih lanjut tentang pentingnya LHKPN, termasuk pendampingan teknis dalam proses pelaporan. Penguatan peran Inspektorat Daerah, Inspektorat perlu diberi wewenang lebih untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan terkait kepatuhan pelaporan LHKPN di tingkat desa. Sanksi yang lebih tegas dan konsisten pemerintah perlu menetapkan sanksi yang lebih tegas dan konsisten, termasuk penjatuhan sanksi pidana jika terbukti ada niat jahat dalam pengelolaan kekayaan yang tidak dilaporkan.
Ketidakpatuhan kepala desa dalam melaporkan LHKPN adalah masalah serius yang harus segera diatasi. Ketiadaan laporan LHKPN dapat membuka celah korupsi dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa. Pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk menegakkan aturan dan memberikan sanksi yang sesuai bagi kepala desa yang tidak patuh.
Hanya dengan begitu, kita bisa membangun pemerintahan desa yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab. Jika ingin menciptakan pemerintahan desa yang benar-benar melayani masyarakat, maka kepala desa harus siap mempertanggungjawabkan kekayaannya secara terbuka. Karena pada akhirnya, kepercayaan masyarakat adalah aset terbesar yang harus dijaga oleh setiap pemimpin, termasuk kepala desa.