Konflik Teritorial Intra-ASEAN : Pusaran Tantangan Hukum Regional Hingga Internasional

Ilustrasi (www.cnnindonesia.com).
Ilustrasi (www.cnnindonesia.com).

Konflik teritorial di antara negara-negara anggota ASEAN merupakan tantangan serius yang menguji komitmen terhadap prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam ASEAN, termasuk non-intervensi, penghormatan kedaulatan, dan penyelesaian damai sengketa. Contoh nyata adalah sengketa wilayah di Laut Natuna Utara antara Indonesia dan klaim Tiongkok yang tumpang tindih dengan klaim Filipina, Vietnam, dan Malaysia. Meskipun Tiongkok bukan anggota ASEAN, dampaknya merembet ke dinamika intra-ASEAN, memperburuk ketegangan regional.

Konflik ini sering kali melibatkan isu-isu historis, politik, dan hukum yang saling bertautan. Contohnya, perselisihan antara Thailand dan Kamboja atas Kuil Preah Vihear, yang telah melalui penyelesaian di Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962, tetapi masih menimbulkan ketegangan hingga beberapa dekade kemudian. Di Laut Natuna Utara, Indonesia bersikeras bahwa klaimnya berdasarkan UNCLOS 1982, sementara negara lain mengajukan argumen berdasarkan peta historis atau kepentingan strategis.

Menurut hukum internasional, penyelesaian sengketa teritorial seharusnya merujuk pada kerangka hukum seperti Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) dan penyelesaian melalui mekanisme internasional, seperti ICJ atau arbitrase. Namun, dalam konteks ASEAN, penerapan hukum internasional sering kali berbenturan dengan prinsip non-intervensi. Prinsip ini, meski dimaksudkan untuk menjaga stabilitas, justru kerap menghalangi negara-negara anggota untuk mengkritik atau campur tangan dalam konflik teritorial.

Pasal 2 Piagam ASEAN menggarisbawahi pentingnya penyelesaian damai sengketa, tetapi kurangnya mekanisme penegakan yang tegas membuat konflik sulit diselesaikan secara efektif. Mekanisme seperti ASEAN Regional Forum (ARF) atau High Council sebagaimana diatur dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama ASEAN (TAC) jarang digunakan, karena negara-negara anggota lebih mengandalkan pendekatan bilateral.

Sengketa teritorial meningkatkan ketidakpercayaan antara negara anggota, sehingga mempersulit kerjasama regional yang harmonis. Ditambah lagi ASEAN tidak memiliki mekanisme hukum yang cukup kuat untuk menyelesaikan sengketa teritorial, mengingat kerangka kerjasama lebih fokus pada konsensus politik daripada penegakan hukum. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya konflik intra-ASEAN. Sehingga membuka peluang bagi kekuatan eksternal, seperti Tiongkok atau AS, untuk memanfaatkan perpecahan guna memperkuat pengaruh mereka di kawasan.

Penguatan mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN sangat perlu dilakukan dengan cara; Pertama, ASEAN perlu mengaktifkan kembali High Council TAC dan menjadikannya forum utama untuk menyelesaikan konflik teritorial. Kedua, peningkatan terhadap peran arbitrase regional. Dengan cara negara di ASEAN dapat membentuk mekanisme arbitrase regional sebagai alternatif ICJ, sehingga sengketa dapat diselesaikan lebih cepat dengan mempertimbangkan konteks kawasan. Ketiga, meningkatkan harmonisasi prinsip non-intervensi dengan hukum internasional. Hal ini perlu dilakukan agar prinsip agar tidak menjadi hambatan dalam menyelesaikan konflik yang berimplikasi luas pada stabilitas kawasan ASEAN

Konflik teritorial intra-ASEAN bisa dibilang ujian nyata bagi kohesi regional dan komitmen hukum internasional. ASEAN harus bergerak melampaui retorika menuju penguatan mekanisme hukum yang dapat menjamin penyelesaian konflik secara damai, adil, dan berkelanjutan. Langkah ini tidak hanya memperkuat integrasi regional tetapi juga memastikan ASEAN tetap relevan dalam menghadapi tantangan geopolitik global serta menghindari pengaruh nyata dari kekuatan eksternal.

Artikel Terkait

Rekomendasi