Komoditas Indonesia Melempem di ASEAN

Author PhotoDesi Sommaliagustina
17 Apr 2025
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto/Foto: Dok. Kemenko Perekonomian.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto/Foto: Dok. Kemenko Perekonomian.

Di tengah perang dagang global yang saat ini terjadi akibat tarif Donald Trump. Klaim pertumbuhan ekonomi, Indonesia tampaknya perlu berkaca lebih jujur. Di ASEAN, kawasan yang menjanjikan sinergi ekonomi regional, komoditas unggulan Indonesia justru jalan di tempat. Kita masih menjual bahan mentah, belum bisa bicara banyak soal daya saing, dan lebih sibuk mengatur perizinan ketimbang memperkuat posisi tawar. Bila tidak segera dibenahi, Indonesia akan semakin terpi
nggirkan dalam peta perdagangan intra-ASEAN.

Indonesia, dengan luas lahan 1,9 juta km² dan garis pantai terpanjang kedua di dunia, semestinya jadi lumbung pangan dan pusat komoditas maritim kawasan. Namun realitas berkata lain. Vietnam, negara dengan luas hanya seperempat Indonesia, berhasil menyalip kita dalam ekspor beras, kopi, bahkan produk perikanan. Thailand lebih canggih lagi: mereka menjual buah tropis yang dibeli dari Indonesia, lalu dikemas dan dijual ulang dengan label premium ke negara kita sendiri.

Sumber masalahnya adalah stagnasi industrialisasi. Menurut data BPS dan ASEANstats (2024), lebih dari 60 persen ekspor pertanian Indonesia masih berupa komoditas mentah tanpa pengolahan. Bandingkan dengan Malaysia, yang telah mengekspor lebih dari 80 persen kelapa sawit dalam bentuk produk olahan bernilai tinggi.

Namun, ironi tak berhenti di situ. Peraturan kita justru memperlambat proses hilirisasi. Izin usaha kecil di sektor agroindustri membutuhkan lebih dari 15 dokumen, sedangkan di Thailand hanya lima. Di sektor perikanan, standar mutu produk ekspor kita sering tertolak di pasar ASEAN karena tidak memenuhi persyaratan traceability dan sanitary standards.

Integrasi ASEAN: Indonesia Gagal Berperan?

ASEAN telah menyepakati berbagai kerangka integrasi ekonomi: mulai dari AFTA (1992), ATIGA (2010), hingga RCEP (2020). Sayangnya, Indonesia belum benar-benar jadi motor penggerak. Ketika Vietnam dan Singapura lincah mengoptimalkan fasilitas tarif nol persen antarnegeri ASEAN, pelaku ekspor Indonesia malah gagap soal prosedur bea masuk. Menurut Laporan Monitoring ATIGA (2023), Indonesia hanya memanfaatkan 54 persen peluang ekspor bebas tarif ASEAN, sementara Thailand sudah 78 persen.

Penyebabnya bukan semata pada sektor usaha, tapi carut-marut sistem hukum dan birokrasi perdagangan. Aturan karantina, perizinan ekspor, hingga pelabelan produk tumpang tindih antara kementerian. Harmonisasi regulasi, yang menjadi semangat utama integrasi ASEAN, justru terhambat oleh ego sektoral dan lemahnya political will nasional.

Kondisi ini menunjukkan lemahnya politik hukum ekonomi kita. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan penguasaan negara atas cabang produksi penting. Namun dalam praktik, hukum ekonomi kita lebih sering berorientasi pada proteksi jangka pendek, bukan pembentukan sistem niaga yang berkelanjutan. UU Cipta Kerja, misalnya, lebih sibuk mempermudah investor besar daripada mendorong perlindungan dan insentif bagi pelaku ekspor mikro dan kecil.

Reforma agraria dan hukum maritim pun masih berkutat di tataran wacana. Ribuan konflik agraria belum tuntas, sementara petani dan nelayan—pemasok utama komoditas ekspor—masih bergelut dengan persoalan kepemilikan lahan, akses pasar, hingga kriminalisasi.

Arah Kebijakan Perlu Dibalik

Arah kebijakan hukum ekonomi Indonesia perlu dirombak dari fondasinya. Pertama, hilirisasi tidak cukup hanya dengan insentif fiskal. Ia butuh kepastian hukum, kemudahan izin yang rasional, dan standardisasi lintas negara ASEAN yang harmonis. Kedua, peran negara dalam diplomasi perdagangan perlu diperkuat: Indonesia tidak bisa hanya jadi penonton ketika negara tetangga menegosiasikan kepentingan ekspor unggulan mereka.

Ketiga, perlindungan terhadap produsen domestik harus berbasis keadilan struktural. Bukan lewat proteksionisme semu, tapi lewat pembenahan sistemik: dari subsidi tepat guna, pendampingan hukum bagi UMKM ekspor, hingga pembukaan akses pada skema perdagangan digital kawasan.

Jika tren ini terus dibiarkan, Indonesia akan tertinggal lebih jauh. Kita akan jadi pasar raksasa yang terus diserbu produk ASEAN, sementara ekspor kita mentok di komoditas mentah yang murah dan rentan.

Indonesia harus berani menjadikan hukum sebagai tulang punggung kebijakan ekonomi, bukan hanya sekadar ornamen legalisasi. Karena dalam dunia perdagangan modern, kekuatan bukan lagi ditentukan oleh siapa yang punya lahan lebih luas atau laut lebih dalam, tapi siapa yang punya hukum lebih tangguh dan strategi lebih cerdas.

Artikel Terkait

Rekomendasi