Ketika Penjaga Konstitusi Dituding Menyalahi Konstitusi

Mahfud MD
Mahfud MD

Pernyataan Prof. Mahfud MD yang menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) telah “masuk terlalu jauh ke urusan pembentuk undang-undang” dalam putusan pemisahan pemilu perlu ditanggapi secara jernih dan kritis. Alih-alih membuka diskursus yang sehat, ucapan tersebut justru berpotensi melemahkan otoritas lembaga yudisial yang lahir dari semangat reformasi.

Mahfud, sebagai mantan Ketua MK dan mantan Menko Polhukam, tentu memahami bahwa MK adalah the guardian of the constitution. Artinya, ketika Undang-Undang bertentangan dengan konstitusi atau bertentangan dengan asas-asas penyelenggaraan negara yang adil, MK berwenang menguji, membatalkan, dan mengoreksi. Mengatakan MK telah campur tangan urusan pembentuk undang-undang adalah pengerdilan peran konstitusional lembaga tersebut.

Putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari serangkaian uji materi, perdebatan publik, serta pertimbangan konstitusional mendalam. Dalam naskah putusannya, MK menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilu serentak seperti yang berlaku selama ini menimbulkan kerugian serius bagi demokrasi elektoral, tata kelola pemerintahan, serta akuntabilitas pejabat publik.

Tidak hanya itu, MK mengacu pada logika konstitusi, bukan pada logika politik kekuasaan. Jika Pasal 22E UUD 1945 menyebutkan “pemilu dilaksanakan lima tahun sekali”, itu bukan berarti semuanya harus dipaksakan bersamaan, apalagi sampai menimbulkan kekacauan teknis, kelelahan penyelenggara, dan bias pemilih yang massif seperti terjadi dalam Pemilu 2019.

Oleh karena itu, MK tidak sedang membuat undang-undang baru. MK menafsirkan norma secara konstitusional dan mengoreksi UU yang terbukti menciptakan ketidakadilan elektoral. Ini bukan pelanggaran terhadap kewenangan DPR sebagai legislator, melainkan bentuk pengawasan konstitusional yang memang menjadi mandat MK.

Inkonsistensi Mahfud?

Ironisnya, Mahfud MD pernah membela putusan-putusan MK yang progresif saat menjabat Ketua MK, termasuk kala MK membatalkan sejumlah pasal undang-undang yang kontroversial. Ketika itu, Mahfud kerap mengatakan bahwa MK tidak hanya legal, tapi juga legitimate secara moral dan konstitusional. Maka menjadi aneh jika kini, saat tidak lagi menjabat di MK, beliau memandang langkah serupa sebagai “intervensi”.

Apakah ini tanda bahwa posisi seseorang terhadap putusan hukum bergantung pada posisi politiknya saat itu? Jika demikian, pernyataan Mahfud bisa ditafsirkan sebagai upaya delegitimasi terhadap putusan MK yang tidak sesuai dengan selera elite.

Pernyataan Mahfud juga bermasalah dari sisi diksi. Dengan mengatakan “MK masuk terlalu jauh ke urusan pembentuk UU”, beliau menyamakan tafsir hukum oleh lembaga yudikatif dengan praktik legislasi. Padahal, keduanya memiliki wilayah kewenangan berbeda. MK tidak menyusun pasal demi pasal, melainkan menguji dan mengarahkan tafsir agar tetap berada dalam koridor konstitusi. Frasa “terlalu jauh” menggiring opini seolah MK melampaui batas, padahal justru DPR dan Pemerintah yang kerap kali menciptakan undang-undang serampangan yang akhirnya harus diuji ulang oleh MK.

Demokrasi Butuh Penjaga, Bukan Penjilat

Jika elite-elite politik merasa terganggu oleh putusan MK, itu justru menunjukkan MK bekerja sebagaimana mestinya. Demokrasi sehat bukanlah demokrasi yang tunduk pada kepentingan penguasa, melainkan yang menjamin hak-hak rakyat dan memperkuat akuntabilitas pemerintahan. Jangan sampai Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai gangguan hanya karena ia tidak menuruti kehendak para politisi.

Dalam demokrasi konstitusional, ada batas-batas yang tak boleh dilewati, termasuk oleh Presiden, DPR, dan juga mantan pejabat tinggi negara. Ketika Mahkamah Konstitusi menjalankan tugasnya dengan mengoreksi sistem pemilu yang rusak, kita seharusnya menyambutnya dengan dukungan, bukan kecurigaan. Jika Mahfud MD ingin mengkritik, kritiklah substansinya, bukan membingkai MK seolah sedang berpolitik.

Terakhir, penting diingat bahwa kritik dari elite politik kepada MK—terlebih jika dilontarkan secara emosional—berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Padahal, di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi negara, Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu harapan terakhir rakyat untuk mendapatkan keadilan konstitusional.

Kita harus menjaga independensi MK, bukan mencurigainya ketika keputusannya tidak sejalan dengan aspirasi kekuasaan. Jika lembaga yudikatif pun dikebiri secara opini publik, maka yang tersisa hanyalah hukum rimba politik.

Artikel Terkait

Rekomendasi