Kampar yang Membisu, Lahat yang Meledak

ilustrasi_korupsi_dana_desa-BONE-640x447

“Negara yang kuat berakar dari desa yang berdaulat,” demikian semangat ideal yang dikandung dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Namun kenyataan di lapangan memperlihatkan hal yang jauh panggang dari api. Desa yang seharusnya menjadi episentrum pembangunan kini justru menjadi episentrum korupsi. Ironisnya, praktik rasuah itu bukan hanya dilakukan oleh kepala desa, tetapi juga melibatkan sekretaris desa (sekdes), perangkat desa, dan bahkan, diduga juga terhubung dengan oknum aparat penegak hukum.

Kasus yang terbaru dan menyita perhatian publik terjadi di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Sebanyak 20 kepala desa ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) saat hendak menyetor dana desa kepada oknum aparat yang diduga “memalak” dengan dalih koordinasi. Fakta ini bukan sekadar potret kegelapan lokal, melainkan gejala sistemik yang merebak di seluruh negeri. Hal yang sama, meski tidak serupa, juga terjadi di Kabupaten Kampar, Riau. Di sana, aroma korupsi desa tercium begitu kuat: laporan masyarakat melimpah, pemberitaan media berulang, namun aparat penegak hukum dan pemerintah daerah tampak beku. Bahkan, salah satu pihak terlapor sudah wafat, tetapi tak satu pun keadilan ditegakkan.

Korupsi Kolektif dan “Gotong Royong” Rasuah

Korupsi desa saat ini sudah tidak lagi bersifat individu, melainkan kolektif. Jika dulu yang paling disorot adalah kepala desa, kini praktik kotor ini dijalankan seperti “keroyokan”, mulai dari kepala desa, sekdes, bendahara, hingga BPD dan tokoh masyarakat. Mekanismenya pun rapi: proyek fiktif, markup kegiatan, pemotongan insentif kader posyandu, hingga pungutan liar dari dana bantuan sosial. Kadang, perangkat desa yang baru dilantik justru langsung digiring pada kultur “setoran” dan “jatah proyek.”

Yang lebih menyedihkan, perangkat desa tidak sekadar menjadi pelaksana teknis, melainkan aktor yang aktif menyusun rekayasa anggaran. Surat pertanggungjawaban dimanipulasi, kuitansi digandakan, kegiatan pelatihan fiktif diadakan dengan laporan seolah-olah sukses padahal tak pernah dilaksanakan. Inilah bentuk nyata penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dan pelanggaran hukum administratif serta pidana sekaligus.

Lembaga Kebijakan Publik Indonesia (LKpIndonesia) selain menyoroti kasus yang terjadi di Kabupaten Lahat ini. Masih banyak kasus yang belum terjamah, salah satu kasus yang terjadi di Kabupaten Kampar adalah contoh nyata pembiaran oleh aparat penegak hukum. Meski laporan warga telah banyak masuk, bahkan beberapa laporan telah sampai ke Kejaksaan dan Inspektorat Daerah, hingga kini tidak ada satu pun proses hukum yang berjalan transparan. Kematian salah satu pihak yang terlibat justru menjadi alasan bagi pihak tertentu untuk menutup kasus, padahal tanggung jawab hukum bersifat kolektif dan tidak gugur hanya karena satu pelaku meninggal dunia.

Sebaliknya, Kabupaten Lahat menunjukkan bahwa OTT bisa dilakukan secara masif dan terkoordinasi, meskipun juga memunculkan pertanyaan serius: apakah OTT ini murni penegakan hukum atau bentuk sandiwara pengalihan isu politik dan kekuasaan? Bagaimanapun, penindakan tidak boleh bersifat kosmetik dan selektif.

Negara Hukum Tanpa Hukum?

Pertanyaannya, di mana peran negara sebagai pelindung hak rakyat desa? Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, tetapi dalam kasus korupsi desa, hukum hanya menjadi jargon normatif. Penegakan hukum yang seharusnya tegak lurus, sering kali dikooptasi kepentingan politik lokal atau bahkan dijadikan alat tawar-menawar. Dalam kasus di Kampar, misalnya, banyak warga bertanya-tanya: apakah hukum memang kalah oleh kekuasaan lokal atau oleh “uang damai”?

Selain itu, aparatur pengawas internal pemerintah (APIP) seperti inspektorat daerah, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam audit dan evaluasi dana desa, justru sering menjadi bagian dari masalah. Fungsi kontrol dilemahkan oleh sistem koordinasi semu dan budaya kompromi. Tidak sedikit inspektur yang justru menjadi “konsultan” dalam mengamankan laporan keuangan fiktif.

UU Desa telah dengan tegas mengatur perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban dana desa secara transparan dan akuntabel. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, semua kegiatan harus berbasis musyawarah, rencana kerja tahunan, serta memiliki laporan pertanggungjawaban publik. Namun, regulasi tinggal regulasi ketika tidak ada penegakan.

Lebih dari itu, aparat hukum seharusnya menggunakan perangkat pidana seperti Pasal 2 dan 3 UU Tipikor bagi pelaku yang menyalahgunakan kewenangan, serta Pasal 55 KUHP untuk memperluas pertanggungjawaban pidana terhadap mereka yang ikut menyetujui, membantu, atau turut menikmati hasil kejahatan.

Di sisi lain, undang-undang perlindungan pelapor dan saksi harus dioptimalkan agar masyarakat tidak takut melaporkan. Banyak warga desa yang tahu dan melihat langsung penyimpangan, tetapi memilih diam karena khawatir dibalas atau dikucilkan secara sosial.

Desa dan Demokrasi yang Dikhianati

Desa adalah basis dari demokrasi partisipatif. Setiap kebijakan dan penggunaan anggaran mestinya dikonsultasikan melalui forum Musyawarah Desa (Musdes). Namun, kini Musdes hanya menjadi forum formalitas. Warga hanya dijadikan pelengkap dan penonton dari kekuasaan oligarkis di tingkat desa.

Praktik ini mencederai demokrasi dan merusak kepercayaan publik. Bahkan, dalam beberapa kasus, masyarakat mulai menganggap korupsi sebagai sesuatu yang “wajar.” Ketika seorang kades tidak korupsi, ia malah dianggap bodoh dan tidak pintar mengambil peluang. Sebuah realitas sosial yang sangat membahayakan legitimasi pemerintahan lokal dan budaya hukum bangsa.

Solusi atas masalah ini tentu bukan sekadar penindakan hukum, melainkan reformasi menyeluruh. Pertama, perlu dibentuk Satuan Tugas Pengawas Desa Independen yang beranggotakan lintas lembaga: BPKP, KPK, kejaksaan, serta unsur masyarakat sipil dan perguruan tinggi. Kedua, pengawasan dana desa harus berbasis digital, dengan aplikasi transparan yang bisa diakses publik secara real time.

Ketiga, harus ada sanksi administratif kolektif terhadap desa yang terbukti melakukan praktik korupsi, misalnya penundaan pencairan dana atau pemblokiran rekening desa, tanpa harus menunggu proses pidana selesai. Dan keempat, penting untuk mendidik ulang perangkat desa dengan pendidikan etika, hukum, dan kewarganegaraan secara berkala, bukan sekadar pelatihan teknis pengisian formulir SPJ.

Desa yang seharusnya menjadi lokus kesejahteraan justru berubah menjadi ladang korupsi. Ketika kepala desa, sekdes, dan perangkat lainnya saling berbagi peran dalam penjarahan uang rakyat, maka rusaklah sendi-sendi negara dari akar rumput. Pemerintah pusat tidak boleh tinggal diam, apalagi aparat hukum yang seharusnya berpihak pada kebenaran.

Kasus Kampar adalah ujian moral dan integritas penegak hukum di tingkat daerah. Jika hukum tak segera ditegakkan di sana, maka percayalah, kasus OTT di Lahat hanya akan menjadi “pertunjukan sesaat”, dan desa akan terus menjadi panggung gelap kekuasaan lokal. Pada akhirnya, kami berpesan kepada aparat penegak hukum “Kami tunggu kinerja aparat penegak hukum di daerah lain!

Artikel Terkait

Rekomendasi