Jangan Takut Untuk Melapor, Relasi Kuasa di Kampus Sangat Nyata!

Author PhotoDesi Sommaliagustina
06 Apr 2025
Ilustrasi Kekerasan Terhadap Perempuan (www.liputan6.com).
Ilustrasi Kekerasan Terhadap Perempuan (www.liputan6.com).

Universitas Gadjah Mada (UGM) baru-baru ini mengambil langkah berani dan sangat penting: memecat EM, Guru Besar Fakultas Farmasi, karena terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswi. Keputusan ini diambil setelah melalui proses penyelidikan internal yang memeriksa para korban, saksi-saksi, dan pelaku. Ini bukan hanya soal disiplin pegawai, tetapi merupakan penegasan nilai-nilai etik, keberpihakan pada korban, dan keberanian institusi pendidikan tinggi untuk menegakkan keadilan.

Langkah ini sangat langka dalam sejarah perguruan tinggi di Indonesia. Di tengah banyaknya laporan kekerasan seksual yang justru tenggelam dalam upaya pembungkaman, langkah UGM adalah preseden penting dan patut menjadi langkah nyata untuk membongkar kekerasan yang terjadi di kampus atau perguruan tinggi lainnya.

Sebagai Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKPT) Universitas Dharma Andalas, saya berpandangan betapa pentingnya perspektif korban dijadikan fondasi dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Banyak korban mahasiswa yang tidak berani melapor karena takut terhadap posisi dosen, khawatir dampak terhadap nilai, skripsi, hingga masa depan akademiknya.

Dalam konteks ini, keberanian UGM memutuskan pemecatan bukan hanya soal menjatuhkan sanksi, tetapi juga mengirim pesan kuat bahwa institusi siap melindungi korban dan memulihkan kepercayaan sivitas akademika. Sebuah keputusan seperti ini membutuhkan kepekaan, integritas, dan political will dari pimpinan universitas. Tidak semua universitas siap melangkah sejauh itu.

Aspek Etik dan Hukum: Tidak Cukup Hanya Sanksi Internal

Pemecatan adalah sanksi etik administratif tertinggi di lingkungan perguruan tinggi. Namun ini bukan akhir. Pelecehan seksual adalah tindak pidana. Mengacu pada Pasal 6 huruf c Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, kekerasan seksual termasuk “perbuatan merendahkan, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh dan/atau fungsi reproduksi seseorang berdasarkan kekuasaan relasi gender dan/atau relasi kuasa lainnya.”

Lebih lanjut, pasal 281 dan 289 KUHP dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang melakukan tindakan asusila secara paksa. Dengan demikian, setelah keputusan etik, pelaku juga harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum melalui proses pidana.

Sayangnya, dalam banyak kasus, kampus masih berhenti di “ranah internal.” Mereka enggan melibatkan aparat penegak hukum karena khawatir pada citra lembaga. Ini adalah ironi yang menyakitkan institusi pendidikan yang seharusnya mendidik tentang keadilan justru abai pada keadilan substantif. Kita tidak bisa terus melanggengkan budaya “asal jangan mencoreng nama kampus” sementara korban harus menanggung trauma seumur hidup.

Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 menugaskan setiap perguruan tinggi membentuk Satgas PPKS. Namun keberadaan Satgas belum tentu otomatis efektif. Ada berbagai tantangan: keterbatasan sumber daya, tekanan dari pihak kampus, ancaman terhadap keamanan pribadi, hingga resistensi dari kalangan sivitas akademika sendiri.

Relasi kuasa di kampus sangat nyata. Dosen dianggap sebagai figur “mutlak”—tak tersentuh, apalagi bila sudah menyandang gelar guru besar. Sementara mahasiswa dianggap subordinat yang harus patuh. Di sinilah pentingnya kampus membongkar struktur budaya feodal dan membuka ruang aman bagi korban.

UGM, dalam kasus EM, menunjukkan bahwa pembuktian dapat dilakukan meskipun korban memiliki posisi rentan. UGM mendengarkan, menyelidiki, dan menindak. Prosedur ini mestinya menjadi standar minimum di seluruh Indonesia. Dalam pandangan saya, kasus ini tentunya memberikan sejumlah pelajaran penting;

Pertama, korban butuh kepastian hukum dan pemulihan psikologis. Dalam hal ini kampus wajib menyediakan pendampingan psikologis, hukum, dan akademik kepada korban. Pemulihan tidak cukup dengan sanksi terhadap pelaku—korban perlu jaminan keamanan untuk melanjutkan studinya.

Kedua, sanksi terhadap pelaku tidak boleh disembunyikan. Sudah seharusnya kampus tidak boleh menutupi hasil penyelidikan dengan dalih privasi pelaku. Dalam kasus pelanggaran etik berat seperti kekerasan seksual, transparansi adalah bagian dari keadilan.

Ketiga, kampus perlu meninjau ulang budaya relasi kuasa. Untuk melakukan hal ini tentulah tidak mudah, tapi bukan berarti sulit. Untuk itu diperlukan reformasi budaya akademik yang menempatkan kesetaraan dan keamanan sebagai prinsip dasar. Sistem mentoring, pengawasan akademik, hingga asesmen dosen harus mencerminkan kepekaan gender.

Terakhir, harus ada sinergi dengan penegak hukum. Saat ini, ditengah ketidakpastian hukum, kampus tidak bisa menjadi ruang impunitas. Penanganan etik tidak menutup jalur pidana. Dosen sebagai warga negara tetap tunduk pada hukum nasional.

Untuk itu dalam pandangan saya langkah yang diambil oleh UGM dalam memecat EM adalah tonggak sejarah dan sudah seharusnya dilakukan. Ini bukan hanya keputusan administratif, tetapi juga pernyataan nilai: bahwa kampus tidak akan lagi menjadi tempat nyaman bagi predator seksual.

Sudah terlalu lama dunia akademik hidup dalam ilusi sterilitas moral, padahal di dalamnya berlangsung kekerasan yang kerap tak tampak dan diskriminasi yang berujung kekerasan baik itu yang dirasakan oleh dosen, tenaga pendidik dan mahasiswa. Tentunya ini harus menjadi perhatian dan Jagan pernah takut untuk melaporkan apapun itu. Lebih baik mencegah dari pada mengobati.

Tentunya kita berharap kampus lain di seluruh Indonesia belajar dari kejadian ini. Perlindungan terhadap korban bukan sekadar kewajiban hukum, tapi kompas moral yang menentukan apakah kita benar-benar mendidik generasi pembela keadilan. Bila kampus gagal melindungi yang lemah, untuk apa kita menyebut diri sebagai institusi pendidikan?

Artikel Terkait

Rekomendasi