Indonesia Gelap: Kepastian Hukum Tergantung Selera Penguasa!

Author PhotoDesi Sommaliagustina
08 Mar 2025
f99ad0d6-45bc-4873-9a91-fb6841850161

Dalam teori negara hukum, ada satu prinsip yang tak boleh diganggu gugat, kepastian hukum. Kepastian hukum berarti bahwa hukum harus bersifat tetap, dapat diprediksi, dan tidak berubah-ubah mengikuti kepentingan segelintir pihak. Namun, di Indonesia, prinsip ini semakin kabur. Alih-alih menjadi pedoman yang jelas bagi masyarakat, hukum kerap kali menjadi alat kekuasaan dapat dibelokkan, dinegosiasikan, bahkan diabaikan sama sekali jika tidak menguntungkan pihak tertentu.

Indonesia masih mengklaim dirinya sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Realitasnya berbicara lain. Produk hukum dan kebijakan sering kali tidak lagi ditentukan oleh prinsip keadilan atau kebutuhan rakyat, melainkan oleh kepentingan kelompok berkuasa.

Lihatlah bagaimana penegakan hukum sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kasus korupsi kakap bisa berujung pada vonis ringan atau bahkan bebas, sementara rakyat kecil yang melanggar aturan sepele bisa dihukum berat. Di sisi lain, pasal-pasal karet dalam berbagai undang-undang digunakan untuk membungkam kritik. Hukum tidak lagi menjadi panglima, tetapi hanya alat legitimasi bagi penguasa untuk melanggengkan kepentingannya.

Kepastian Hukum: Mitos atau Kenyataan?
Dalam konsep rule of law, hukum harus memberikan kepastian agar masyarakat bisa menjalani hidup dengan rasa aman. Di Indonesia, kepastian hukum sering berubah menjadi hukum selera penguasa siapa yang kuat, dialah yang menang.

Misalnya, bagaimana bisa suatu putusan hukum berubah begitu cepat hanya karena tekanan politik? Mengapa hukum bisa berbeda tafsirnya tergantung siapa yang diadili? Di satu kasus, ada orang yang dihukum berat, sementara dalam kasus serupa, ada yang justru dilindungi. Apakah ini yang disebut kepastian hukum? Atau justru kepastian bagi yang berkuasa?

Di negara demokratis, hukum harus berdiri independen, bukan alat politik. Namun, di Indonesia, hukum sering kali digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Para pemangku kepentingan bisa memanfaatkan celah hukum, bahkan menciptakan aturan yang menguntungkan diri sendiri.

Kita bisa melihat bagaimana regulasi bisa berubah dalam semalam jika menyangkut kepentingan elite. Proses legislasi sering kali tidak transparan, minim partisipasi publik, dan tiba-tiba muncul dengan substansi yang berbeda dari kepentingan rakyat. Fenomena ini semakin memperjelas bahwa hukum bukan lagi persoalan keadilan, tetapi tentang siapa yang sedang berkuasa.

Indonesia perlu kembali kepada prinsip negara hukum yang sesungguhnya. Ada beberapa langkah yang harus diambil untuk mengembalikan kepercayaan terhadap hukum. Langkah pertama, memperkuat independensi lembaga hukum. KPK, Kejaksaan, dan pengadilan harus benar-benar lepas dari intervensi politik. Lembaga ini tidak boleh menjadi alat kekuasaan, tetapi harus berfungsi sebagai penjaga keadilan.

Langkah kedua, reformasi peradilan. Sistem peradilan harus lebih transparan dan akuntabel. Setiap keputusan hukum harus bisa dipertanggungjawabkan secara rasional, bukan berdasarkan pesanan. Langkah ketiga, menjamin partisipasi publik dalam legislasi. Pembentukan hukum harus melibatkan masyarakat, bukan hanya kelompok elite. Regulasi yang dibuat tanpa mendengar aspirasi rakyat hanya akan melahirkan hukum yang tidak berpihak pada keadilan.

Terakhir, menegakkan hukum secara adil dan konsisten. Untuk menegakkan hukum secara adil dan konsisten, tidak boleh ada hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum, tanpa memandang status atau kekuatan politik.

Indonesia sedang menuju kegelapan jika hukum terus dibiarkan menjadi alat kekuasaan. Kepastian hukum harus diperjuangkan, bukan hanya menjadi slogan kosong. Jika hukum terus dimainkan oleh kepentingan elite, maka kita tidak lagi hidup dalam negara hukum, melainkan dalam negara selera penguasa. Maka keadilan hanya akan menjadi ilusi bagi masyarakat!

Artikel Terkait

Rekomendasi