Hukum Adat yang Tak Beradat: Refleksi Kritis terhadap Realitas Hukum Adat di Indonesia

Author PhotoDesi Sommaliagustina
05 Jan 2025
Masyarakat Adat
Masyarakat Adat

Hukum adat yang benar-benar “beradat” adalah hukum yang tidak hanya menghormati tradisi, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai universal kemanusiaan.

 

Hukum adat merupakan salah satu elemen penting dalam sistem hukum Indonesia yang mencerminkan kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat. Sebagai bagian dari identitas bangsa, hukum adat memiliki peran signifikan dalam menjaga harmoni sosial dan menyelesaikan konflik di tingkat komunitas. Realitas saat ini menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum adat di Indonesia sering kali menyimpang dari esensinya, menjadi apa yang bisa disebut sebagai “hukum adat yang tak beradat.”

Secara normatif, hukum adat diakui dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI

Implementasi hukum adat sering kali dihadapkan pada tantangan serius, termasuk inkonsistensi regulasi, marginalisasi masyarakat adat, hingga intervensi pihak luar yang merusak tatanan adat itu sendiri. Di beberapa kasus, hukum adat justru digunakan sebagai alat legitimasi untuk praktik yang bertentangan dengan nilai keadilan dan hak asasi manusia. Misalnya, kasus perampasan tanah adat oleh korporasi besar sering kali melibatkan manipulasi keputusan adat atau kooptasi tokoh adat oleh pihak berkepentingan.

Akibatnya, masyarakat adat menjadi korban dari sistem yang seharusnya melindungi mereka. Praktik “tak beradat” dalam hukum adat konsep “tak beradat” mengacu pada penyimpangan dari nilai-nilai dasar hukum adat, seperti keadilan, kesetaraan, dan keharmonisan.

Beberapa contoh praktik yang mencerminkan hal ini antara lain: Pertama, diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok rentan. Dalam beberapa komunitas adat, norma adat masih mendiskriminasi perempuan, misalnya dalam pembagian warisan atau hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Hal ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender yang dijamin oleh konstitusi dan hukum nasional.

Kedua, legitimasi terhadap kekerasan. Ada praktik adat yang memberikan ruang bagi kekerasan, seperti denda adat yang diterapkan melalui mekanisme yang tidak transparan atau melibatkan kekerasan fisik. Hal ini menunjukkan bahwa hukum adat kadang diperalat untuk mempertahankan kekuasaan kelompok tertentu.

Ketiga, komersialisasi adat dalam hal ini nilai-nilai adat sering kali diperdagangkan oleh pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Dalam konteks konflik lahan, hukum adat kadang dijadikan alasan untuk memuluskan eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat adat.

Untuk mengembalikan hukum adat ke jalurnya sebagai instrumen keadilan dan harmoni, diperlukan upaya serius dari berbagai pihak. Negara harus memastikan masyarakat adat memiliki kapasitas untuk memahami dan mempertahankan hak-haknya.

Hal ini mencakup pemberian pendidikan hukum, akses terhadap bantuan hukum, dan perlindungan dari intimidasi pihak luar. Perlu ada harmonisasi antara hukum adat dan hukum nasional agar keduanya dapat berjalan beriringan. Hukum nasional harus memberikan ruang yang jelas untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak adat tanpa mengabaikan prinsip-prinsip HAM.

Praktik hukum adat harus diawasi secara berkala untuk memastikan bahwa ia tidak digunakan sebagai alat penindasan. Pengawasan ini harus melibatkan pemerintah, lembaga independen, dan masyarakat adat itu sendiri. Hukum adat seharusnya menjadi fondasi yang kokoh dalam menjaga identitas budaya dan keadilan di Indonesia.

Namun, ketika hukum adat kehilangan esensinya dan berubah menjadi “hukum adat yang tak beradat,” nilai-nilai luhur yang menjadi dasar hukum ini pun terdegradasi. Oleh karena itu, perlu ada upaya bersama untuk merevitalisasi hukum adat agar tetap relevan dan berdaya guna dalam menciptakan keadilan sosial.

Artikel Terkait

Rekomendasi