Di tengah tantangan fiskal dan tekanan global, pemerintah kerap menjadikan kata “efisiensi” sebagai mantra kebijakan. Efisiensi disebut sebagai jalan keluar atas pemborosan anggaran, solusi atas belanja negara yang membengkak, serta strategi untuk memperkuat stabilitas makroekonomi. Namun, dalam praktiknya, efisiensi sering kali tidak berpihak pada rakyat. Bahkan, tidak jarang ia menjadi pintu masuk dari kebijakan pemangkasan yang ironisnya, lebih dulu memangkas hak rakyat kecil ketimbang pemborosan di level elite.
Fenomena ini tidak baru, tetapi semakin terasa dampaknya dalam beberapa tahun terakhir. Di sektor energi, misalnya, efisiensi telah dijadikan alasan untuk mereduksi subsidi listrik dan bahan bakar. Pemerintah berdalih bahwa subsidi bersifat tidak tepat sasaran, menimbulkan beban anggaran, dan menurunkan efisiensi fiskal.
Pada awal 2025, pelanggan rumah tangga kecil sempat mendapatkan subsidi listrik sebagai bagian dari program bantuan energi. Namun, hanya dua bulan berselang, tarif listrik kembali dinaikkan. Penyesuaian ini dikaitkan dengan harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Akibatnya, jutaan rumah tangga kecil di wilayah urban dan sub-urban menghadapi lonjakan tagihan listrik tanpa ada peningkatan penghasilan yang memadai.
Kenaikan tarif listrik tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari tren kebijakan yang cenderung menyerahkan kebutuhan dasar rakyat kepada mekanisme pasar. Pemerintah tidak lagi menjadi penyedia utama layanan publik, melainkan fasilitator bagi skema-skema komersial yang bertumpu pada hitung-hitungan korporasi. Konsep negara kesejahteraan yang dahulu menjadi ideal, lambat laun tergeser oleh pendekatan pasar bebas dengan corak neoliberal: efisiensi menjadi alasan untuk mundurnya negara dari tanggung jawab sosialnya.
Kebijakan efisiensi yang dijalankan tanpa empati sosial justru menciptakan beban ganda bagi masyarakat. Di sektor kesehatan, misalnya, efisiensi diartikan sebagai rasionalisasi anggaran rumah sakit dan pengurangan insentif tenaga kesehatan. Hal ini terjadi justru setelah pandemi COVID-19 memperlihatkan betapa rapuhnya sistem kesehatan publik kita. Di daerah-daerah terpencil, banyak puskesmas kekurangan tenaga medis, obat, dan alat medis dasar. Ketika efisiensi diterapkan tanpa mempertimbangkan disparitas akses layanan, maka ia justru memperlebar ketimpangan.
Di bidang pendidikan, efisiensi kerap digunakan sebagai alasan untuk menunda pengangkatan guru honorer menjadi ASN, menggabungkan sekolah-sekolah kecil di daerah dengan dalih rasionalisasi, serta mengurangi alokasi untuk pengadaan fasilitas pendidikan. Padahal, pendidikan adalah fondasi dari pembangunan jangka panjang. Negara tidak bisa berharap mencetak generasi unggul jika terus-menerus mengorbankan kualitas pendidikan atas nama efisiensi.
Hal yang lebih mencemaskan adalah ketika kebijakan efisiensi menyasar jaring pengaman sosial. Program bantuan langsung tunai, bantuan pangan, hingga perlindungan sosial untuk penyandang disabilitas dan lansia, kerap dikaji ulang atau dipersempit cakupannya karena dinilai tidak produktif secara fiskal. Padahal, kelompok inilah yang paling membutuhkan kehadiran negara.
Negara Mundur, Pasar Masuk
Apa yang kita saksikan hari ini sejatinya adalah kemunduran peran negara dalam memastikan keadilan sosial. Efisiensi, yang seharusnya menjadi instrumen manajemen sumber daya publik, berubah menjadi instrumen pelepasan tanggung jawab negara. Dalam kerangka ini, negara tidak lagi menjadi pelayan rakyat, melainkan manajer keuangan yang fokus pada neraca, bukan pada nasib warganya.
Prinsip negara kesejahteraan (welfare state) yang diamanatkan UUD 1945 justru digantikan oleh prinsip negara korporasi. Yang dihitung adalah efisiensi biaya, bukan efektivitas pelayanan. Padahal, Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara tidak boleh dilepaskan ke pasar semata.
Namun, dalam praktiknya, kita menyaksikan privatisasi layanan publik berjalan masif. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seharusnya menjadi instrumen negara untuk melayani publik, justru beroperasi layaknya korporasi murni yang mengejar laba. PLN, Pertamina, hingga PT KAI, secara bertahap menerapkan skema harga komersial untuk seluruh lapisan masyarakat. Rakyat kecil pun tak lagi dibedakan dari konsumen kelas atas dalam hal kewajiban membayar.
Siapa yang Efisien, Siapa yang Sengsara?
Pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah: siapa yang efisien, dan siapa yang sengsara? Jika efisiensi hanya dijadikan alasan untuk memangkas subsidi dan memperketat akses rakyat terhadap layanan dasar, maka sesungguhnya kebijakan itu bukan efisien, tapi diskriminatif. Negara menjadi hemat hanya ketika berhadapan dengan rakyat kecil, tapi tetap boros saat berurusan dengan elit dan proyek-proyek prestisius.
Fakta menunjukkan, alokasi anggaran untuk proyek infrastruktur mercusuar terus berjalan, sementara sektor kesehatan dan pendidikan mengalami stagnasi. Belanja pegawai dan tunjangan birokrasi masih menjadi pos dominan dalam APBN, sementara belanja sosial kerap kali menjadi korban rasionalisasi. Ini adalah ironi yang nyata: negara hemat kepada rakyat, tapi royal kepada dirinya sendiri.
Tentu, efisiensi tidak salah. Yang salah adalah orientasinya. Efisiensi seharusnya berpihak pada rakyat, bukan menjadikan rakyat sebagai beban. Negara yang efisien adalah negara yang mampu mengelola sumber dayanya secara optimal untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi publik, bukan hanya untuk menyeimbangkan neraca keuangan.
Efisiensi sejati bukan soal memangkas subsidi, tetapi soal mengefektifkan birokrasi. Bukan soal mengurangi anggaran bantuan, tetapi soal mencegah kebocoran dan korupsi dalam distribusinya. Bukan soal menyerahkan layanan publik ke pasar, tetapi soal memperkuat lembaga-lembaga publik agar mampu bersaing dalam kualitas dan integritas.
Pemerintah perlu membalik arah. Jika saat ini rakyat merasa terbebani oleh berbagai penyesuaian harga dan pengurangan layanan, maka ini saatnya mengevaluasi ulang kebijakan efisiensi. Evaluasi tidak hanya soal angka, tapi juga soal dampak sosial. Apakah kebijakan ini menurunkan kemiskinan? Apakah ia memperkuat kualitas hidup? Atau justru memperluas jurang ketimpangan?
Kita hidup di negara yang mendasarkan diri pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip ini bukan sekadar slogan, tetapi cita-cita konstitusional yang mengikat seluruh cabang kekuasaan negara. Ketika rakyat semakin kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya karena negara terus melakukan efisiensi sepihak, maka sesungguhnya negara telah melupakan misinya.
Efisiensi tanpa keadilan adalah kekerasan terselubung. Ia mungkin tidak menimbulkan luka fisik, tetapi perlahan mengikis martabat manusia. Dan ketika negara mulai lupa pada martabat rakyatnya, maka itulah awal dari krisis legitimasi.
Sudah saatnya kita kembali ke dasar: bahwa negara ada untuk rakyat, bukan sebaliknya. Bahwa anggaran adalah alat untuk mewujudkan kesejahteraan, bukan untuk menghitung laba-rugi seperti perusahaan. Dan bahwa efisiensi yang berpihak pada rakyat bukanlah beban, melainkan bentuk kecerdasan moral dalam tata kelola pemerintahan.
Desi Sommaliagustina














