Dinamika Perjanjian Internasional Indonesia dengan Negara ASEAN dalam Perspektif Hukum Nasional

Author PhotoDesi Sommaliagustina
08 Jan 2025
asean-map-blue-background_23-2148713888

Perjanjian internasional merupakan salah satu instrumen penting dalam hubungan antarnegara, termasuk di kawasan ASEAN. Indonesia, sebagai salah satu pendiri ASEAN, telah berkomitmen untuk menjalankan kerja sama regional demi mencapai stabilitas, keamanan, dan kemakmuran bersama. Dalam praktiknya, implementasi perjanjian internasional sering kali berhadapan dengan tantangan dalam konteks hukum nasional.

Sistem hukum Indonesia, perjanjian internasional diatur oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 10 UU tersebut menyebutkan bahwa perjanjian internasional yang berdampak luas pada kepentingan nasional, seperti perubahan wilayah, kedaulatan, pertahanan, dan hak asasi manusia, memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini mencerminkan prinsip checks and balances dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Penting untuk diingat bahwa dalam hierarki hukum nasional Indonesia (berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), perjanjian internasional yang telah diratifikasi setara dengan undang-undang. Artinya, keberlakuannya harus harmonis dengan peraturan nasional lainnya.

Salah satu tantangan utama adalah harmonisasi antara perjanjian internasional dengan hukum nasional. Contohnya, perjanjian perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA) menuntut Indonesia untuk menurunkan tarif bea masuk. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini kerap berbenturan dengan perlindungan terhadap produk domestik yang diatur dalam regulasi nasional.

Proses ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia sering memakan waktu lama karena melibatkan DPR. Meskipun proses ini penting untuk memastikan akuntabilitas, keterlambatan ratifikasi dapat menghambat pelaksanaan perjanjian, terutama jika negara ASEAN lainnya telah lebih dahulu meratifikasi perjanjian yang sama.

Dalam beberapa kasus, kepentingan nasional Indonesia dapat bertolak belakang dengan tujuan regional ASEAN. Misalnya, dalam isu lingkungan, perjanjian terkait penanganan kabut asap lintas batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution) memerlukan komitmen kuat dari Indonesia untuk mengendalikan kebakaran hutan. Namun, implementasinya sering terkendala oleh regulasi dan penegakan hukum nasional yang lemah.

Pemerintah Indonesia perlu memperkuat koordinasi antarinstansi untuk memastikan bahwa perjanjian internasional yang diratifikasi tidak bertentangan dengan peraturan nasional. Proses ini dapat melibatkan pembentukan tim teknis lintas kementerian. Penguatan kapasitas institusi hukum nasional dalam memahami dan menerapkan perjanjian internasional menjadi kunci.

Selain itu, pemerintah harus memberikan pelatihan bagi hakim, jaksa, dan aparat penegak hukum lainnya diperlukan agar mereka memahami implikasi perjanjian internasional dalam konteks nasional. Tentunya ini menjadi sorotan tajam, lucu juga kalau hakim, jaksa dan aparat penegak hukum tidak memahami implikasinya. Yang tidak kalah pentingnya dalam forum ASEAN, Indonesia perlu memperjuangkan fleksibilitas dalam penerapan perjanjian, mengingat perbedaan tingkat pembangunan antarnegara anggota. Prinsip ASEAN Way, yang mengutamakan konsensus dan non-intervensi, dapat menjadi dasar untuk mencari solusi kolektif.

Sebagai negara dengan posisi strategis di ASEAN, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa perjanjian internasional yang dibuat tidak hanya mencerminkan kepentingan regional tetapi juga selaras dengan hukum dan kepentingan nasional. Dengan memperkuat harmonisasi hukum, mempercepat proses ratifikasi, dan mengedepankan diplomasi progresif, Indonesia dapat memaksimalkan manfaat dari kerja sama ASEAN tanpa mengorbankan kedaulatan hukumnya.

Artikel Terkait

Rekomendasi