Dalam perbincangan politik modern, ada istilah yang jarang diucapkan secara terbuka di forum resmi, tetapi kerap menjadi bahan bisik-bisik di lorong kekuasaan: deep state. Istilah ini tidak lahir dari fiksi politik atau teori konspirasi belaka, melainkan dari pengamatan panjang terhadap realitas bahwa di balik struktur formal negara, sering kali ada jaringan kekuasaan permanen yang bekerja di luar kendali mekanisme demokrasi.
Konsep deep state merujuk pada keberadaan kelompok atau jaringan yang terdiri dari elemen militer, birokrasi, intelijen, aparat penegak hukum, hingga elite bisnis dan politik, yang mempertahankan pengaruhnya meski pemerintahan berganti. Mereka tidak tampil di panggung depan demokrasi, tetapi mampu mengatur arah kebijakan negara dari balik layar, kadang demi stabilitas, tetapi sering kali demi kepentingan mereka sendiri.
Deep State: Indonesia dan Bayang-Bayang Orde Baru
Istilah ini pertama kali populer di Turki pada 1990-an. Derin devlet, begitu masyarakat Turki menyebutnya adalah gabungan antara militer, kepolisian, dan kelompok nasionalis yang diyakini terlibat dalam berbagai operasi rahasia, termasuk penindasan terhadap lawan politik. Mereka berdalih menjaga negara dari ancaman separatisme dan radikalisme, tetapi dalam praktiknya, jaringan ini sering kali menjadi aktor yang menentukan siapa yang boleh berkuasa dan sejauh mana kebijakan pemerintah boleh berubah.
Di Amerika Serikat, istilah deep state mendapat perhatian baru pasca-2016. Donald Trump, misalnya, beberapa kali menuding bahwa dirinya melawan “pemerintahan bayangan” yang berusaha menghambat agenda politiknya. Meskipun banyak pengamat menilai tudingan itu retoris, diskursus tentang keberadaan “military-industrial complex” yang pernah diperingatkan oleh Presiden Dwight Eisenhower pada 1961 masih relevan. Eisenhower mengingatkan bahaya kolaborasi erat antara militer dan industri persenjataan, yang dapat mengarahkan kebijakan luar negeri negara demi keuntungan ekonomi kelompok tertentu, bukan demi kepentingan rakyat.
Rusia memiliki versinya sendiri melalui jaringan siloviki, yaitu mantan pejabat keamanan dan intelijen yang menempati posisi strategis di pemerintahan maupun bisnis. Di Mesir, militer bukan hanya mengendalikan keamanan, tetapi juga menguasai sektor ekonomi dalam skala masif. Inggris mengenal istilah shadow government dalam konteks partai oposisi, tetapi dalam praktiknya, ada pula birokrasi permanen yang mempertahankan arah kebijakan jangka panjang terlepas dari siapa perdana menterinya.
Indonesia tidak steril dari dugaan deep state. Selama 32 tahun Orde Baru, Soeharto membangun apa yang oleh sebagian analis disebut “negara korporatis-militeris” kombinasi antara militer yang memiliki peran sosial-politik, birokrasi yang patuh, dan pengusaha yang loyal. Reformasi 1998 memang menghapus Dwifungsi ABRI secara formal, membentuk lembaga demokratis seperti KPK, serta membuka kebebasan pers. Namun, warisan jaringan kekuasaan itu tidak hilang begitu saja.
Sejumlah indikasi keberadaannya bisa dilihat dari: mandeknya penyelesaian pelanggaran HAM berat seperti kasus 1965, Talangsari, atau Trisakti-Semanggi; reformasi sektor keamanan yang setengah hati, di mana struktur dan budaya militeristik tetap kuat dan; kebijakan strategis yang inkonsisten, misalnya dalam penanganan konflik agraria atau investasi asing.
Bahkan, beberapa pengamat menilai bahwa sebagian pergantian pejabat atau arah kebijakan penting kerap merupakan hasil kompromi antara pemerintah dan kekuatan lama yang masih bercokol. Mereka mungkin tidak lagi menempati jabatan formal, tetapi pengaruhnya terasa dalam cara negara merespons isu-isu sensitif.
Antara Penyangga, Penghalang dan Tantangan Era Digital
Menariknya, tidak semua peran deep state otomatis buruk. Dalam situasi di mana pemerintahan sipil rapuh atau cenderung otoriter, jaringan permanen ini kadang menjadi “penyangga” yang menjaga kesinambungan kebijakan negara. Misalnya, transisi pemerintahan di beberapa negara yang diwarnai kekacauan bisa tetap berlangsung karena adanya birokrasi dan militer yang bekerja menjaga sistem tetap berjalan.
Namun, persoalannya muncul ketika kekuatan itu terlalu dominan hingga mengerdilkan mekanisme demokrasi. Publik tidak bisa menilai atau mengontrol keputusan-keputusan penting yang diambil di balik layar. Kebijakan negara yang seharusnya menjadi hasil debat publik dan proses legislatif malah lahir dari ruang-ruang tertutup yang hanya dihadiri segelintir elite.
Ironisnya, era digital yang serba terbuka justru tidak otomatis menyingkap tabir deep state. Meski media sosial memudahkan informasi bocor, banyak pula informasi yang sengaja dipelintir untuk mengaburkan fakta. Di sinilah deep state memanfaatkan situasi, mengendalikan narasi publik, menekan lawan politik lewat instrumen hukum, atau menunda kebijakan yang dianggap mengancam status quo.
Kita bisa melihat ini dalam pola penanganan kasus besar yang berlarut-larut, seperti skandal korupsi yang melibatkan elite politik, konflik pertanahan yang tidak kunjung selesai, atau isu keamanan yang sengaja dibiarkan mengambang. Setiap kali pemerintahan berganti, harapan reformasi muncul, namun struktur kekuasaan lama tetap bertahan dengan wajah baru.
Pertanyaan mendasar yang dihadapi negara-negara demokrasi adalah: apakah deep state harus dibongkar total, atau cukup dikendalikan melalui mekanisme transparansi dan akuntabilitas?
Membongkarnya berarti melakukan reformasi menyeluruh terhadap militer, intelijen, dan birokrasi tentunya ini tugas yang secara politis berat dan penuh risiko. Mengendalikannya berarti memastikan kekuatan itu tunduk pada supremasi hukum, dibatasi oleh masa jabatan, dan diawasi secara independen oleh publik dan media.
Untuk Indonesia, penguatan check and balance antar-lembaga, kebebasan pers, serta partisipasi aktif masyarakat sipil adalah kunci. Keterbukaan anggaran, pengungkapan konflik kepentingan pejabat, dan reformasi hukum yang tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan akan mempersempit ruang gerak deep state.
Dan pada akhirnya teori deep state bukan sekadar cerita seram politik. Ia adalah pengingat bahwa demokrasi tidak berjalan otomatis. Kita bisa punya pemilu yang bebas, parlemen yang aktif, dan pers yang merdeka, tetapi jika kekuasaan riil tetap berada di tangan segelintir orang yang tak pernah dipilih rakyat, demokrasi hanya menjadi dekorasi.
Bagi Indonesia yang sedang membangun legitimasi demokrasi pasca-Reformasi, kesadaran publik adalah benteng pertama. Tanpa keberanian untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan negara, kita berisiko terjebak dalam panggung politik yang pemainnya berganti, tetapi sutradaranya tetap sama.
Kekuasaan, seperti bayangan, kadang sulit ditangkap. Ia bergerak di balik layar, menunggu saat tepat untuk muncul. Pertanyaannya, apakah kita cukup berani menyalakan lampu dan melihat dengan jelas apa yang ada di balik tirai itu?