Kenaikan dana reses anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disebut mencapai hampir dua kali lipat dari periode sebelumnya benar-benar terasa seperti “petir di siang bolong”. Bukan hanya karena besarannya yang fantastis, tetapi karena kebijakan ini berjalan secara diam-diam tanpa keterbukaan kepada publik—tanpa keterangan resmi, tanpa pembahasan terbuka, dan tanpa argumentasi yang jelas atas dasar kepentingan rakyat.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyebut langkah tersebut sebagai tindakan yang “tidak etis dan menipu publik”. Sebab, rakyat tidak pernah diberitahu sebelumnya bahwa akan ada peningkatan dana reses hingga nyaris 100 persen.
Lantas, di tengah situasi fiskal negara yang masih ketat dan banyak program publik dipangkas, mengapa justru “anggaran silaturahmi” para wakil rakyat ke dapilnya itu yang dinaikkan? Apakah benar untuk memperkuat serap aspirasi rakyat, atau justru mempertebal jarak antara rakyat dengan para wakilnya?
Reses: Hak atau Kewajiban?
Secara normatif, masa reses diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang menegaskan bahwa masa reses merupakan bagian dari tugas anggota DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya. Dalam konteks hukum tata negara, fungsi reses merupakan bagian integral dari fungsi representasi dan pengawasan.
Namun dalam praktik, masa reses kerap menjadi ajang seremonial: kunjungan singkat ke daerah pemilihan, rapat terbatas di hotel, pembagian sembako, atau hanya menghadiri kegiatan formal tanpa agenda substansial menyerap aspirasi rakyat. Laporan reses pun sering disusun formalitas—hanya tumpukan kertas yang tak pernah dikaitkan dengan kebijakan nasional.
Kenaikan dana reses, jika tidak diiringi mekanisme akuntabilitas, justru dapat menimbulkan moral hazard. Karena, semakin besar dana yang digelontorkan tanpa pengawasan ketat, semakin besar pula potensi penyimpangan penggunaannya.
Asas Transparansi yang Dilanggar
Prinsip utama dalam pengelolaan keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, adalah bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab.
Kenaikan dana reses yang dilakukan tanpa pemberitahuan publik dan tanpa mekanisme penjelasan resmi jelas bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
Apalagi, DPR adalah lembaga yang memiliki fungsi anggaran dan pengawasan. Maka dari itu, seharusnya DPR menjadi teladan dalam menjalankan prinsip good governance, bukan justru pelanggar prinsip keterbukaan. Ketika keputusan diambil dalam ruang tertutup tanpa partisipasi publik, kepercayaan terhadap lembaga perwakilan semakin merosot.
Publik bertanya-tanya: mengapa kebijakan yang menyangkut uang rakyat dilakukan sembunyi-sembunyi? Jika memang untuk rakyat, mengapa harus takut menjelaskan?
Ironi di Tengah Ketimpangan
Kebijakan kenaikan dana reses DPR terasa makin kontras jika dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan, harga kebutuhan pokok melonjak, beban listrik dan BBM kian berat, sementara pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan justru kerap terhambat oleh alasan defisit anggaran.
Kementerian dan lembaga lain dituntut efisiensi, bahkan ada yang diminta memangkas perjalanan dinas, tetapi para legislator justru menikmati tambahan anggaran tanpa dasar rasional yang kuat.
Ironisnya, DPR sendiri kerap menolak transparansi dalam penggunaan dana reses. Padahal, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.05/2017, setiap penggunaan anggaran negara wajib disertai laporan pertanggungjawaban yang terukur, disertai output yang jelas.
Bagaimana mungkin rakyat percaya bahwa kenaikan dana reses ini benar-benar untuk mereka, jika laporan penggunaannya saja tidak bisa diakses publik?
Secara hukum, memang tidak ada larangan bagi DPR untuk menaikkan dana reses. Namun secara etika politik dan moral publik, tindakan tersebut menyimpang dari prinsip keadilan distributif dan kewajaran dalam alokasi sumber daya negara.
Kenaikan ini menggambarkan politik hukum yang cenderung self-serving, di mana legislator menggunakan kewenangan anggaran untuk kepentingan sendiri. Dalam teori hukum tata negara, ini bisa disebut sebagai bentuk conflict of interest — legislator menjadi pembuat, pelaksana, sekaligus penerima manfaat dari keputusan yang ia buat.
Tidak heran bila masyarakat semakin apatis. Ketika DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat justru tampak seperti wakil dari dirinya sendiri, demokrasi kehilangan maknanya.
Reses Tanpa Aspirasi
Bila kita jujur, publik jarang melihat hasil konkret dari kegiatan reses. Aspirasi yang dihimpun kerap berhenti di laporan, tak menjadi dasar kebijakan nasional.
Padahal, jika dijalankan serius, reses bisa menjadi instrumen penting untuk mempertemukan kebijakan pusat dengan realitas daerah. Misalnya, menyerap aspirasi petani terkait pupuk subsidi, mendengarkan masalah nelayan tentang BBM, atau memperjuangkan infrastruktur dasar di desa tertinggal.
Namun praktik di lapangan sering kali berbeda. Banyak laporan reses berisi aspirasi “klise”: pembangunan jalan, bantuan sosial, atau usulan proyek—tanpa analisis hukum atau kebijakan yang konkret.
Kegiatan reses bahkan terkadang dijadikan ajang memperkuat basis politik pribadi menjelang Pemilu, bukan memperjuangkan rakyat. Sebagai pejabat negara yang digaji dari uang rakyat, anggota DPR terikat pada Kode Etik DPR yang mengatur kewajiban menjunjung tinggi kepentingan rakyat, menjaga kehormatan lembaga, serta menghindari penyalahgunaan jabatan.
Dalam konteks ini, keputusan menaikkan dana reses tanpa komunikasi publik dapat dipandang sebagai pelanggaran etika representasi. Tidak ada dasar normatif yang melarang DPR membahas tunjangan, tetapi ada batas moral yang seharusnya menjadi pagar perilaku wakil rakyat.
Kewajiban etis itu melekat bukan karena mereka pejabat, tetapi karena mereka wakil rakyat. Maka setiap rupiah yang mereka terima harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik—bukan sekadar di atas kertas laporan keuangan.
Kepercayaan Publik
Kepercayaan publik terhadap DPR terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Survei berbagai lembaga menunjukkan DPR sering dipersepsikan sebagai lembaga paling korup dan paling jauh dari aspirasi rakyat.
Kenaikan dana reses yang dilakukan tanpa keterbukaan hanya memperkuat persepsi itu. Jika DPR ingin mengembalikan kepercayaan publik, langkah pertama adalah membuka secara detail komponen penggunaan dana reses—berapa besar alokasinya, apa peruntukannya, dan bagaimana mekanisme pelaporannya.
Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus turun tangan memastikan tidak ada penyimpangan dalam penggunaan dana ini. Transparansi tidak cukup berupa pengumuman angka, tetapi harus berupa keterbukaan sistem pelaporan berbasis digital yang bisa diakses masyarakat.
Kenaikan dana reses DPR mungkin sah secara hukum, tetapi cacat secara moral dan etis. Tidak ada yang salah dengan memperkuat fungsi representasi, tetapi salah besar jika dilakukan dengan cara yang menyingkirkan transparansi dan akuntabilitas.
DPR harus sadar bahwa setiap rupiah dari APBN adalah uang rakyat, bukan uang partai atau pribadi anggota dewan. Maka, ketika kebijakan seperti ini dilakukan tanpa komunikasi terbuka, rakyat berhak curiga: apakah dana itu benar untuk rakyat, atau sekadar untuk memperkuat kepentingan politik menjelang Pemilu?
Rakyat tidak menolak jika wakilnya bekerja sungguh-sungguh untuk mereka. Yang ditolak adalah ketika kepentingan rakyat hanya dijadikan alasan untuk memperkaya diri sendiri.
Sudah saatnya DPR berhenti sembunyi di balik jargon “serap aspirasi”. Jika benar bekerja untuk rakyat, buktikan dengan keterbukaan. Karena dalam negara hukum, tidak ada ruang bagi kebijakan publik yang gelap—segelap diamnya rakyat yang dikhianati oleh wakilnya sendiri!
Desi Sommaliagustina














