Indonesia dan Uni Eropa akhirnya mencapai kesepakatan untuk menjalin Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan pencapaian ini dalam pertemuan dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen di Brussel, Minggu (13/7/2025). Kesepakatan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah diplomasi ekonomi Indonesia, menandai transisi dari wacana menuju implementasi kerja sama dagang berskala besar.
Namun, di balik semarak pidato kenegaraan dan optimisme pasar, terselip pertanyaan penting yang tidak boleh diabaikan: bagaimana konsekuensi hukumnya? Sejauh mana sistem hukum nasional siap untuk menjalankan komitmen dalam perjanjian ini? Dan apakah kepastian hukum nasional cukup kuat untuk menahan beban harmonisasi regulasi dengan mitra dagang sebesar Uni Eropa?
CEPA bukan sekadar penghapusan tarif. Ia mencakup sektor-sektor strategis seperti perlindungan investasi, layanan jasa, pengadaan pemerintah, isu lingkungan hidup, hingga hak kekayaan intelektual. Dengan demikian, konsekuensi hukumnya sangat luas dan berlapis. Pada satu sisi, harmonisasi regulasi bisa menjadi dorongan untuk reformasi hukum nasional.
Standar Eropa yang tinggi dalam tata kelola, transparansi, dan kepastian hukum bisa menjadi katalisator bagi pembenahan sistem hukum Indonesia. Namun pada sisi lain, Indonesia dihadapkan pada dilema: apakah menyesuaikan regulasi demi perjanjian akan menggerus prinsip kedaulatan legislasi nasional?
Satu hal yang pasti, kepastian hukum tidak bisa dikesampingkan. Ratifikasi perjanjian ini harus dilakukan dengan dasar hukum yang kokoh dan terbuka. Peraturan pelaksana perlu disiapkan sejak dini agar tidak terjadi kekosongan norma yang dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan masyarakat. Salah satu elemen yang krusial dalam CEPA adalah mekanisme penyelesaian sengketa. Dalam sejarah perjanjian perdagangan bebas, gugatan dari investor terhadap negara kerap menimbulkan kontroversi, terutama bila menyangkut kebijakan publik.
Jika CEPA mengadopsi model Investor-State Dispute Settlement (ISDS), Indonesia berpotensi menghadapi gugatan arbitrase internasional dari perusahaan Eropa yang merasa dirugikan. Dalam konteks hukum tata negara, hal ini menimbulkan persoalan tentang ruang diskresi negara dan posisi hukum nasional dalam menghadapi putusan lembaga arbitrase internasional.
Pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa mekanisme sengketa dalam CEPA tidak mengorbankan kepentingan nasional. Klausul pengecualian (carve-outs) harus dinegosiasikan dengan cermat, agar kebijakan sosial, lingkungan, dan ketenagakerjaan tetap berada dalam yurisdiksi nasional.
Sebagai perjanjian internasional yang berdampak luas, CEPA harus dijalankan secara transparan dan partisipatif. Publik, akademisi, pelaku usaha, serta organisasi masyarakat sipil perlu mendapatkan akses terhadap naskah perjanjian. Keterbukaan ini penting untuk menghindari resistensi dan membangun legitimasi demokratis terhadap kebijakan perdagangan.
Selain itu, tak tertutup kemungkinan bahwa CEPA akan diuji secara konstitusional. Jika terdapat ketentuan yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi menjadi forum yang sah untuk menilai kompatibilitasnya dengan norma dasar negara. Aspek lain yang tak kalah penting adalah kesiapan institusi hukum nasional. Aparat penegak hukum, pengadilan, lembaga sertifikasi, serta birokrasi ekonomi harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai substansi CEPA.
Tanpa dukungan institusional yang kuat, implementasi perjanjian ini rawan stagnan atau bahkan menimbulkan kebingungan hukum. Standar produk, regulasi lingkungan, perlindungan data, hingga prosedur ekspor-impor akan mengalami penyesuaian. Dibutuhkan pelatihan lintas sektor dan harmonisasi antarlembaga agar Indonesia benar-benar siap memasuki fase baru kemitraan ekonomi ini. Euforia ini tidak boleh mengaburkan kenyataan bahwa keberhasilan perjanjian ini sangat bergantung pada fondasi hukum yang mendasarinya. Tanpa kepastian, konsistensi, dan keberanian menegakkan hukum, potensi CEPA akan sulit diwujudkan secara maksimal.
Pemerintah Indonesia memiliki kesempatan emas untuk menunjukkan bahwa kepastian hukum nasional tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap formalitas, tetapi menjadi motor penggerak kerja sama internasional yang adil dan setara. Dalam dunia global yang saling terhubung, hukum harus berdiri di garis depan—menjadi jembatan, bukan penghalang; menjadi penjaga kedaulatan, bukan simbol kelemahan.
CEPA bukan akhir dari perjalanan, melainkan permulaan dari tanggung jawab hukum dan tata kelola yang lebih kompleks. Di sinilah letak tantangan dan harapan, untuk menjadikan hukum Indonesia tidak hanya tangguh di dalam negeri, tetapi juga dihormati di ranah internasional.