Teror terhadap pers di Indonesia kembali terjadi. Setelah insiden pengiriman kepala babi ke kantor Tempo baru-baru ini, kini muncul lagi aksi intimidasi dengan mengirimkan bangkai tikus ke kantor media tersebut. Pola serupa, tujuan serupa; membungkam kebebasan pers.
Kebebasan pers merupakan salah satu pilar utama demokrasi. Jurnalisme yang independen adalah instrumen penting dalam mengawasi kekuasaan dan menyuarakan kepentingan publik. Namun, insiden teror seperti ini menegaskan bahwa masih ada pihak yang merasa terganggu dengan kerja jurnalistik dan memilih jalur kekerasan untuk menghentikannya.
Teror semacam ini tidak bisa dipandang sebagai kejadian biasa. Penggunaan simbol-simbol menjijikkan seperti kepala babi dan bangkai tikus mengisyaratkan pesan kebencian dan ancaman psikologis. Ini adalah cara untuk menciptakan ketakutan, bukan hanya bagi media yang menjadi target, tetapi juga bagi jurnalis lain yang berusaha menjalankan tugasnya.
Siapa Dalang di Balik Teror?
Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah; siapa di balik aksi ini? Apakah ini tindakan individu yang merasa dirugikan oleh pemberitaan? Ataukah ada kepentingan yang lebih besar yang ingin membungkam media secara sistematis?
Dalam berbagai kasus, serangan terhadap pers sering kali memiliki keterkaitan dengan investigasi kritis yang dilakukan media tersebut. Tempo, misalnya, dikenal dengan liputan investigatifnya yang kerap membongkar kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, hingga penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, satu hal yang pasti ancaman terhadap pers adalah ancaman terhadap kita semua. Jika pers dibungkam, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang akurat dan independen.
Negara memiliki kewajiban melindungi kebebasan pers sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kasus-kasus teror seperti ini harus diusut tuntas oleh aparat penegak hukum. Tanpa penyelesaian yang jelas, ancaman serupa akan terus berulang dan menimbulkan efek gentar bagi jurnalis.
Selain itu, solidaritas antar-media dan publik sangat penting. Insiden seperti ini bukan hanya persoalan Tempo, tetapi juga persoalan seluruh insan pers dan masyarakat yang mendukung kebebasan berekspresi.
Teror terhadap pers bukan sekadar insiden kriminal, tetapi ancaman serius terhadap demokrasi. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia.
Pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat harus bersatu untuk menolak segala bentuk intimidasi terhadap jurnalis. Sebab, membungkam pers sama saja dengan membungkam kebenaran. Hanya satu kata “Lawan”!
Desi Sommaliagustina













