Bahlil dan Raja Ampat

Author PhotoDesi Sommaliagustina
08 Jun 2025
6844029122a02

Menteri Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia ke Raja Ampat, Papua Barat Daya, semestinya menjadi momentum mempertegas komitmen negara dalam menjaga kawasan dengan nilai ekologis tinggi ini. Sayangnya, perhatian publik justru teralihkan pada paradoks yang lebih substansial: bahwa kementerian yang sama telah menerbitkan sejumlah izin tambang di wilayah yang secara global diakui sebagai kawasan laut paling kaya keanekaragaman hayatinya. Dengan kata lain, bukan kehadiran Menteri yang dipersoalkan—melainkan kebijakan sektoral yang secara diametral bertentangan dengan prinsip konservasi dan keadilan ekologis.

Raja Ampat bukan hanya destinasi menyelam kelas dunia atau taman laut yang memesona mata. Wilayah ini adalah rumah bagi lebih dari 1.300 spesies ikan, 700-an jenis moluska, dan sekitar 500 jenis karang keras—mewakili lebih dari 75% spesies karang yang dikenal di dunia. Tak heran jika kawasan ini dijuluki sebagai “Amazon of the Seas” oleh para ilmuwan kelautan. Dalam kacamata hukum lingkungan dan perencanaan ruang, Raja Ampat idealnya termasuk kawasan yang memiliki status perlindungan maksimum—baik dalam tata ruang nasional maupun dalam izin pemanfaatan sumber daya alam.

Namun fakta di lapangan menunjukkan arah sebaliknya. Beberapa perusahaan pertambangan diketahui telah memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah yang tak jauh dari kawasan ekosistem penting Raja Ampat. Di sinilah letak persoalan: bagaimana mungkin negara mempromosikan Raja Ampat sebagai destinasi konservasi kelas dunia, sekaligus membuka pintu bagi tambang di saat bersamaan?

Negara yang Abai atau Negara yang Kompromistis?

Jika ditilik dari asas hukum lingkungan, terbitnya izin tambang di sekitar Raja Ampat dapat ditengarai melanggar prinsip in dubio pro natura—yakni prinsip bahwa dalam ketidakpastian dampak terhadap lingkungan, maka keputusan harus berpihak pada perlindungan lingkungan. Izin pertambangan di kawasan bernilai ekologis tinggi juga bertentangan dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang secara eksplisit memberikan hak bagi warga negara untuk memperjuangkan lingkungan yang baik dan sehat serta melindungi mereka dari kriminalisasi.

Ketika perusahaan tambang mengantongi izin resmi dari negara, padahal lokasi operasinya berada dalam atau dekat kawasan konservasi, maka yang perlu dipertanyakan bukan hanya perusahaan tersebut, melainkan lembaga negara yang memberikan izin. Artinya, ada kelalaian struktural yang harus dipertanggungjawabkan secara politik, administratif, dan hukum.

Kunjungan Menteri ESDM tentu tidak bisa secara serta-merta dimaknai sebagai dukungan terhadap ekspansi pertambangan di Raja Ampat. Di tengah fakta bahwa kementeriannya telah menerbitkan izin-izin kontroversial, wajar jika publik mengaitkannya. Dalam sistem pemerintahan presidensial yang menganut prinsip kolektivitas kebijakan, setiap tindakan pejabat publik akan selalu diukur dalam bingkai keberpihakan terhadap rakyat dan lingkungan.

Sebagian pihak membela pemerintah dengan menyebut bahwa pertambangan yang dimaksud tidak secara langsung merambah wilayah inti konservasi. Tetapi hal ini menyesatkan. Pengalaman dari banyak kasus sebelumnya menunjukkan bahwa efek ekologis dari pertambangan tak mengenal batas administrasi. Limbah, alih fungsi lahan, degradasi hutan, hingga disrupsi terhadap satwa dan ekosistem pesisir bisa berdampak secara sistemik pada kawasan yang lebih luas.

Dengan kata lain, klaim bahwa “tambangnya tidak di dalam Raja Ampat” adalah tameng semu yang tidak mengubah kenyataan bahwa operasional tambang tetap menjadi ancaman nyata bagi ekosistem sekitarnya.

Masyarakat Adat: Suara yang Diabaikan

Di balik semua ini, ada satu elemen penting yang kerap dikesampingkan dalam kebijakan sektoral: masyarakat adat. Di Raja Ampat dan sekitarnya, masyarakat adat memiliki hubungan kosmologis, ekologis, sekaligus kultural dengan tanah dan laut yang mereka tempati. Banyak wilayah yang kini masuk dalam konsesi tambang, sejatinya adalah tanah ulayat atau wilayah adat yang diwariskan turun-temurun.

Namun dalam banyak proses perizinan, partisipasi masyarakat hanya formalitas. Suara mereka kerap dianggap penghambat investasi. Padahal amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 telah mempertegas pengakuan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya. Dengan memberikan izin kepada perusahaan yang menambang di tanah adat tanpa persetujuan bebas dan diinformasikan di muka (free, prior and informed consent), negara sebenarnya sedang menegasikan prinsip dasar hak asasi manusia.

Kita sedang menyaksikan sebuah potret ironi: negara yang membanggakan kekayaan alamnya, tapi juga negara yang membiarkan kekayaan itu dirusak atas nama pertumbuhan ekonomi. Kebijakan yang menyandingkan pariwisata berbasis ekologi dengan pertambangan di wilayah yang sama adalah bentuk inkonsistensi yang tidak bisa dibiarkan terus terjadi.

Apakah Raja Ampat harus dikorbankan agar target produksi mineral nasional tercapai? Ataukah kita bisa membayangkan pembangunan model baru yang tak harus menggadaikan lingkungan untuk pertumbuhan sesaat?

Dunia kini bergerak ke arah pembangunan rendah karbon dan transisi energi bersih. Di tengah momentum global itu, Indonesia semestinya tidak lagi bersandar pada ekstraksi sumber daya primer yang merusak lingkungan. Pemerintah perlu menggeser fokus dari pertambangan mineral mentah ke industri hilir yang berkelanjutan dan tidak mengorbankan kawasan konservasi.

Raja Ampat tidak boleh menjadi korban dari ambisi pembangunan yang buta. Bukan hanya karena nilai ekologisnya tak tergantikan, tapi karena kerusakan yang terjadi di sana akan menjadi preseden buruk bagi kawasan konservasi lain di seluruh Indonesia.

Menteri ESDM boleh berkunjung ke Raja Ampat. Bahkan sebaiknya sering-sering hadir agar melihat langsung betapa pentingnya kawasan ini bagi masa depan Indonesia dan dunia. Namun yang lebih penting dari sekadar kunjungan adalah keberanian untuk menghentikan pemberian izin tambang di kawasan bernilai konservasi tinggi.

Rakyat Indonesia tidak butuh retorika konservasi di atas kertas, tetapi tindakan konkret untuk melindungi alam dan hak masyarakat adat. Dan Raja Ampat adalah ujian moral terbesar kita hari ini: apakah kita pelihara sebagai warisan anak cucu, atau kita jual pelan-pelan demi angka PDB sesaat?

Artikel Terkait

Rekomendasi