Absen di Hari Pertama Setelah Cuti Bersama: Apa Sanksinya bagi Pegawai Negeri dan Swasta?

Ilustrasi ASN (www.radarsampit.com).
Ilustrasi ASN (www.radarsampit.com).

Setelah libur panjang Idulfitri, masyarakat kembali dihadapkan pada rutinitas kerja. Aparatur sipil negara (ASN), pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), maupun karyawan sektor swasta diharapkan kembali aktif bekerja pada hari pertama setelah cuti bersama. Namun, seperti pola berulang yang selalu terjadi tiap tahun, tidak sedikit yang absen tanpa keterangan jelas. Sejumlah laporan dari inspektorat, BKD, maupun manajemen perusahaan menunjukkan bahwa tingkat kehadiran sering kali tidak 100 persen di hari pertama kerja.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting dari perspektif hukum dan etika profesi: apakah ada konsekuensi bagi pegawai yang mangkir di hari pertama kerja pasca-libur bersama? Bagaimana regulasi mengatur hal ini? Apakah cukup ditegur, dipotong gaji, atau dapat dikenakan sanksi lebih serius seperti penurunan pangkat atau pemecatan?

Untuk ASN, ketentuan tentang kewajiban masuk kerja dan sanksi atas pelanggaran disiplin diatur tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pasal 3 PP tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa PNS wajib masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja. Pelanggaran atas kewajiban ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin ringan, sedang, atau berat tergantung frekuensi dan dampaknya.

Ketidakhadiran tanpa alasan yang sah, meskipun hanya sehari, jika dilakukan berulang atau diikuti tindakan lain seperti manipulasi data kehadiran, bisa berujung pada sanksi sedang hingga berat. Pasal 11 sampai Pasal 13 menjabarkan sanksi mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, pemotongan tunjangan, penurunan jabatan, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian tidak dengan hormat.

Lebih dari itu, Pasal 17 PP 94/2021 menegaskan bahwa PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah secara kumulatif selama 10 hari kerja dalam setahun dapat diberhentikan. Artinya, bolos satu hari setelah cuti bersama, jika diakumulasi dengan pelanggaran sebelumnya, dapat menjadi dasar pemecatan.

Pengawasan Ketat: Sistem Kehadiran Digital dan Inspeksi Mendadak

Seiring dengan reformasi birokrasi, sistem kehadiran ASN semakin terpantau. Banyak instansi pemerintah telah menggunakan sistem kehadiran digital terintegrasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) bahkan mewajibkan seluruh ASN melaporkan kehadiran secara daring pada hari pertama kerja setelah cuti nasional.

Tak jarang, inspektorat jenderal di kementerian maupun pemda menggelar inspeksi mendadak (sidak) ke berbagai kantor untuk memeriksa kehadiran. Hasilnya dipublikasikan secara terbuka dan menjadi evaluasi kinerja pimpinan instansi. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakhadiran tanpa keterangan tidak hanya menjadi urusan personal, tetapi menyangkut kredibilitas kelembagaan dan pelayanan publik. ASN yang mangkir dianggap mencederai kepercayaan publik dan bisa berdampak sistemik pada citra institusi.

Berbeda dari ASN, pekerja sektor swasta tunduk pada perjanjian kerja dan peraturan perusahaan. Tidak ada aturan eksplisit dalam undang-undang ketenagakerjaan yang menyebut “hari pertama kerja setelah libur” sebagai objek sanksi tersendiri. Namun, ketentuan umum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (sebagaimana diubah oleh UU Cipta Kerja dan turunannya) memberikan ruang bagi pengusaha untuk menegakkan disiplin berdasarkan kontrak kerja dan peraturan internal.

Ketidakhadiran tanpa keterangan umumnya termasuk dalam pelanggaran disiplin. Beberapa perusahaan memberlakukan pemotongan gaji harian, pemberian surat peringatan, hingga pencatatan dalam evaluasi tahunan. Bila dilakukan berulang, pekerja dapat dikenai sanksi administratif, bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan kompensasi tertentu.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa dalam sektor swasta, pelaksanaan sanksi harus proporsional dan tidak sewenang-wenang. Perusahaan wajib memberikan peringatan tertulis terlebih dahulu sebelum mengambil langkah ekstrem seperti PHK. Prinsip keadilan dan asas proporsionalitas dalam hukum perburuhan tetap harus dijunjung.

Aspek Etika dan Tanggung Jawab Profesional

Melampaui sanksi hukum formal, ketidakhadiran pasca-libur panjang mencerminkan persoalan etika kerja. Pegawai, baik negeri maupun swasta, memiliki tanggung jawab moral untuk kembali bekerja tepat waktu, apalagi setelah menikmati hak libur yang dijamin negara atau perusahaan. Absennya pegawai tanpa keterangan menciptakan beban kerja tambahan bagi rekan sejawat, mengganggu alur pelayanan, dan menunjukkan rendahnya komitmen terhadap tugas.

Dalam konteks ASN, tindakan seperti ini bisa dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap semangat pelayanan publik. Dalam sektor swasta, hal ini mencerminkan rendahnya loyalitas terhadap perusahaan. Budaya kerja yang sehat tidak akan tumbuh jika ketidakhadiran tanpa alasan kerap ditoleransi, bahkan dianggap wajar setiap usai cuti bersama.

Hari pertama kerja setelah Idulfitri bukan sekadar transisi dari suasana silaturahmi menuju rutinitas birokrasi. Ia adalah momentum untuk menunjukkan integritas, profesionalitas, dan penghormatan terhadap hak dan kewajiban. Negara telah memberikan cuti bersama sebagai bentuk kompromi antara produktivitas dan kesejahteraan psikologis. Maka sepatutnya, hak tersebut dibayar dengan komitmen untuk kembali bekerja dengan penuh tanggung jawab.

Sanksi hukum memang tersedia untuk mereka yang abai. Namun lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah pembenahan kultur kerja. Atasan harus memberikan teladan. Pengawasan harus adil dan konsisten. Pegawai harus menjadikan kedisiplinan sebagai bagian dari kehormatan profesi. Hanya dengan begitu, kepercayaan publik terhadap institusi baik negara maupun swasta dapat terjaga.

Artikel Terkait

Rekomendasi