Seabad perjalanan pendidikan hukum di Indonesia telah melahirkan generasi demi generasi ahli hukum yang diharapkan menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum dan keadilan. Namun, ironisnya, masih banyak di antara kita yang merasakan bahwa hukum seringkali terasa tumpul dan tidak mampu memberikan keadilan yang diharapkan. Mengapa hal ini terjadi? Salah satu faktor yang menjadi penyebabnya adalah orientasi pendidikan hukum yang selama ini terlalu menekankan pada aspek teoritis.
Mahasiswi dan mahasiswa hukum lebih banyak menghabiskan waktu untuk menghafal pasal-pasal undang-undang dan putusan pengadilan daripada dilatih untuk berpikir kritis dan analitis. Akibatnya, lulusan fakultas hukum seringkali kesulitan untuk menerapkan ilmu hukumnya dalam praktik. Kesenjangan antara teori dan praktik hukum juga menjadi masalah klasik. Kurikulum pendidikan hukum yang terlalu akademis seringkali tidak relevan dengan dinamika hukum yang terjadi di masyarakat.
Akibatnya, lulusan fakultas hukum seringkali merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja yang sebenarnya. Intervensi politik dalam proses penegakan hukum juga menjadi faktor yang sangat mempengaruhi efektivitas hukum. Keputusan hukum seringkali dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu, sehingga keadilan seringkali menjadi korban. Hal ini tentu saja sangat merugikan masyarakat.
Korupsi merupakan penyakit kronis yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Praktik korupsi yang merajalela di berbagai sektor kehidupan, termasuk sektor hukum, membuat penegakan hukum menjadi sulit dan tidak konsisten. Lemahnya penegakan hukum juga menjadi faktor penting. Aparat penegak hukum seringkali tidak profesional dan tidak independen. Akibatnya, banyak kasus hukum yang tidak terungkap atau tidak diselesaikan secara tuntas.
Akar Sejarah: Rechtsschool dan Rechtshogeschool
Rechtsschool (1909), sekolah hukum pertama di Indonesia didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan tujuan mencetak tenaga hukum untuk mengisi jabatan-jabatan di pemerintahan kolonial. Kurikulumnya sangat kental dengan hukum Belanda dan berorientasi pada kepentingan kolonial.
Rechtshogeschool (1924), sebagai pengembangan dari Rechtsschool, lembaga ini menawarkan pendidikan hukum yang lebih tinggi. Lulusannya diharapkan mampu mengisi jabatan-jabatan penting dalam sistem peradilan Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan, kurikulum pendidikan hukum mengalami perubahan signifikan. Fokusnya bergeser dari hukum kolonial menuju hukum nasional yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Pendidikan hukum berperan penting dalam membangun sistem hukum nasional yang baru. Lulusan fakultas hukum menjadi tulang punggung dalam menyusun undang-undang, menjalankan peradilan, dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat. Semakin banyak perguruan tinggi yang membuka program studi hukum. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk mempelajari hukum dan berkarier di bidang hukum. Pendidikan hukum dihadapkan pada tantangan globalisasi.
Kurikulum perlu diperkaya dengan materi hukum internasional dan komparatif agar lulusan mampu bersaing di tingkat global. Perkembangan teknologi informasi telah mengubah lanskap hukum. Pendidikan hukum perlu mengintegrasikan teknologi dalam proses pembelajaran dan penelitian. Profesi hukum menuntut kualitas dan etika yang tinggi. Pendidikan hukum harus menghasilkan lulusan yang tidak hanya memiliki pengetahuan hukum yang kuat, tetapi juga memiliki integritas dan kemampuan berkomunikasi yang baik. Pendidikan hukum Indonesia telah melahirkan banyak ahli hukum yang berkontribusi besar bagi bangsa dan negara. Namun, pendidikan hukum masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti kualitas pengajar, relevansi kurikulum, dan akses pendidikan hukum yang belum merata.
“100 Tahun Pendidikan Hukum: Mengapa Hukum Masih Tumpul”?
Pendidikan hukum di Indonesia awalnya dirancang untuk melayani kepentingan kolonial. Kurikulum yang kental dengan hukum Belanda dan berorientasi pada kepentingan penguasa asing tentu saja tidak sepenuhnya relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia pasca-kemerdekaan. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya adaptasi, warisan kolonial ini masih meninggalkan jejak yang dalam dalam sistem hukum kita. Selain itu, tantangan nasional yang kompleks seperti korupsi, ketidaksetaraan, dan lemahnya penegakan hukum juga turut berkontribusi pada permasalahan ini.
Pendidikan hukum, yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menjaga keadilan, justru terkadang menjadi bagian dari masalah. Salah satu masalah mendasar dalam pendidikan hukum adalah kesenjangan antara teori dan praktik.
Mahasiswa hukum diajarkan banyak teori hukum yang rumit, namun seringkali kurang diberikan kesempatan untuk mengaplikasikannya secara langsung dalam dunia nyata. Akibatnya, lulusan fakultas hukum seringkali kesulitan beradaptasi dengan dinamika hukum yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Peningkatan permintaan terhadap lulusan hukum telah mendorong banyak perguruan tinggi untuk membuka program studi hukum. Namun, tidak semua program studi hukum memiliki kualitas yang sama. Komersialisasi pendidikan hukum telah menyebabkan penurunan kualitas lulusan dan semakin mengaburkan batas antara pendidikan dan bisnis.
Masalah lain yang turut memperparah situasi adalah lemahnya penegakan hukum. Banyak kasus hukum yang tidak diselesaikan secara adil dan transparan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti korupsi, intervensi politik, dan kurangnya sumber daya manusia yang profesional di lembaga penegak hukum. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, pendidikan hukum perlu melakukan transformasi.
Tentunya kita memiliki harapan di masa depan, pendidikan hukum di Indonesia diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas, inovatif, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Mereka diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam membangun negara yang adil dan beradab
Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain: Pertama, relevansi kurikulum; kurikulum pendidikan hukum harus terus diperbarui agar relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Kedua, materi hukum yang diajarkan harus lebih menekankan pada aspek praktis dan aplikatif. Selain pengetahuan hukum, mahasiswa juga perlu diberikan pendidikan karakter yang kuat. Nilai-nilai seperti integritas, kejujuran, dan keadilan harus menjadi bagian integral dari pendidikan hukum.
Ketiga, perlu menjalin kerjasama yang lebih erat dengan para praktisi hukum. Hal ini dapat dilakukan melalui program magang, kuliah tamu, dan penelitian bersama.
Keempat, penguatan penelitian hukum, penelitian hukum yang berkualitas sangat penting untuk mengembangkan ilmu hukum dan memberikan solusi atas permasalahan hukum yang ada.
Kelima, perlunya reformasi sistem hukum, pendidikan hukum tidak dapat bekerja sendiri. Perlu adanya reformasi menyeluruh terhadap sistem hukum, termasuk perbaikan undang-undang, penguatan lembaga peradilan, dan pemberantasan korupsi.
Dalam rangka satu abad pendidikan hukum di Indonesia adalah pencapaian yang patut kita disyukuri tapi tidak boleh berpuas diri. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar hukum di Indonesia benar-benar menjadi alat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Pendidikan hukum memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mewujudkan cita-cita tersebut. Tapi cita-cita yang strategis ini tidak akan terwujud. Jika “orang hukum” yang notabenenya berpendidikan hukum itu sendiri yang melanggar hukum. Apalagi melakukan perbuatan melawan hukum. Tentu ini sangat miris sekali!