Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengeluarkan pernyataan penting baru-baru ini yang menyoroti bahwa jumlah aturan hukum yang banyak tidak otomatis menjamin terciptanya keadilan di masyarakat.
Dalam konferensi pers yang diadakan pada Kamis, 23 Oktober 2025, di kantor Kemenko Bidang Hukum HAM Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril menegaskan bahwa hukum harus dipahami bukan sekedar sebagai tumpukan peraturan, melainkan sebagai instrumen mencapai keadilan substantif yang nyata dirasakan oleh rakyat.
“Banyaknya aturan hukum yang dibuat, meski tampak lengkap, belum tentu menjamin keadilan bagi semua pihak. Kita harus fokus kepada bagaimana hukum itu ditegakkan secara adil dan bermartabat,” kata Yusril secara tegas.
Menurut Yusril, selama ini Indonesia mengalami fenomena di mana regulasi yang melimpah justru seringkali membingungkan pelaksanaannya serta kerap meninggalkan ruang ketidakpastian hukum bagi masyarakat.
Ia mencontohkan beragam undang-undang dan peraturan pemerintah yang kerap tumpang tindih dan menimbulkan interpretasi hukum yang beragam, sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian masyarakat yang kurang memahami hak dan kewajibannya.
Lebih lanjut, Yusril menyatakan bahwa fungsi hukum sejatinya adalah memastikan hak-hak warga negara terjamin serta memberikan perlindungan yang setara dan berimbang bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi.
“Jumlah aturan bukan indikator utama keberhasilan sistem hukum. Yang paling penting adalah efektivitas penegakan hukum dan pemahaman yang benar oleh aparat dan masyarakat terhadap aturan tersebut,” tambahnya.
Pernyataan Menko Yusril itu disampaikan di tengah rencana pemerintah dan DPR untuk membahas beberapa RUU penting, termasuk RUU Perampasan Aset dan langkah-langkah reformasi hukum lainnya.
Yusril menegaskan bahwa pemerintah mendorong penyusunan peraturan yang lebih sederhana, jelas, dan mudah dipahami, sehingga bisa menekan peluang praktik korupsi dan penyalahgunaan hukum.
Ia juga menyoroti perlunya pelatihan dan penguatan kapasitas aparat penegak hukum agar mampu menegakkan aturan tanpa bias dan politisasi.
“Penegakan hukum yang tidak adil atau tebang pilih justru akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada sistem hukum dan memperlemah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Menurut Yusril, setiap aturan hukum harus melekat pada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan menjunjung tinggi HAM agar benar-benar memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Dia menambahkan, keadilan tidak hanya soal ketepatan aturan, tetapi juga soal kecepatan dan konsistensi implementasi dalam kehidupan nyata.
Dalam sesi tanya jawab, Yusril memberikan contoh bahwa aturan hukum yang tumpang tindih seringkali membuat masyarakat kecil kesulitan mencari keadilan lantaran harus berhadapan dengan birokrasi yang rumit dan mahal.
“Jangan sampai hukum hanya menjadi alat kekuasaan yang menindas, tetapi harus menjadi pelindung rakyat,” katanya.
Pernyataan ini mendapat respon positif dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan praktisi hukum yang selama ini mengeluhkan kompleksitas regulasi di Indonesia.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Prof. Maria Santosa, menilai pernyataan Yusril sebagai langkah awal yang baik dalam reformasi sistem hukum nasional.
“Ini saatnya kita berfokus pada kualitas hukum dan penegakannya, bukan sekadar kuantitas peraturan,” ujar Prof. Maria.
Namun, beberapa kelompok juga mengingatkan agar penyederhanaan aturan tidak mengorbankan perlindungan hukum bagi kelompok rentan dan kepentingan umum.
Aktivis Lembaga Bantuan Hukum, Rini Cahya, menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dalam proses penyusunan regulasi agar hukum benar-benar berpihak kepada rakyat kecil.
“Saya setuju dengan Yusril, asalkan prinsip keadilan hakiki tetap dijaga,” kata Rini.
Yusril juga menekankan pentingnya koordinasi antara lembaga legislatif dan eksekutif agar regulasi yang dibentuk bisa sinergis dan tidak saling bertentangan.
Lebih jauh, Yusril menyampaikan harapan agar sistem hukum Indonesia bisa menjadi contoh dalam hal penegakan keadilan di tingkat global.
“Ada banyak negara yang masih bergulat dengan masalah hukum dan keadilan, Indonesia punya potensi besar untuk menunjukkan bahwa hukum bisa jadi alat perubahan positif,” ujarnya optimis.
Sejumlah pakar hukum internasional memuji pendekatan ini sebagai bentuk kematangan politik hukum Indonesia dalam menyikapi persoalan hukum kompleks.
Mereka menilai bahwa pengurangan jumlah aturan yang tidak efektif akan membantu memperkuat supremasi hukum sekaligus mendorong iklim investasi dan kepastian hukum.
Yusril juga mengungkapkan bahwa pemerintah tengah mengupayakan reformasi birokrasi di instansi penegak hukum agar proses hukum lebih transparan dan akuntabel.
“Tidak cukup hanya membuat aturan, kita juga harus memastikan semuanya berjalan sesuai dengan tujuan awal, yaitu menegakkan keadilan,” jelasnya.
Menko Yusril mengingatkan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah mengikis budaya korupsi dan politik transaksional yang selama ini menghambat fungsi hukum.
Ia menegaskan tugas bersama antara masyarakat, aparat hukum, dan pemerintah untuk menjaga integritas sistem hukum nasional.
Pernyataan Yusril ini muncul saat pemerintah juga menghadapi tantangan dalam menangani berbagai kasus hukum yang mendapat sorotan publik.
Yusril menilai bahwa dengan mengedepankan prinsip keadilan substantif, sistem hukum akan dapat mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Sementara itu, berbagai pihak mendukung agar penyusunan peraturan undang-undang dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan.
Yusril juga menyampaikan bahwa dalam waktu dekat akan dibentuk tim khusus untuk merumuskan konsep hukum yang lebih sederhana dan humanis.
Selain itu, Menko Yusril mengajak masyarakat aktif memberikan masukan demi terwujudnya hukum yang benar-benar memberikan manfaat.Dia menuturkan, masyarakat tidak perlu takut melaporkan ketidakadilan dan penyalahgunaan hukum karena negara
Mhd Rizky Andana Saragih, S.H














