Tragedi 1998: Pelanggaran HAM atau Bukan?

Author PhotoDesi Sommaliagustina
23 Oct 2024
201908052019-5-21-Kerusuhan-Mei-98.jpg

Tragedi 1998 di Indonesia, yang ditandai dengan kerusuhan, pembakaran, dan kekerasan massal, merupakan salah satu peristiwa kelam dalam sejarah negara ini. Pertanyaan utama yang masih menjadi perdebatan adalah apakah tragedi ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan hukum nasional dan perspektif ahli hukum. Artikel ini akan mengkaji latar belakang, definisi legal, analisis ahli, serta tantangan dan upaya penanganan kasus ini.

Tragedi 1998 terjadi di tengah krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia. Berbagai faktor, seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial, semakin memperparah situasi. Sentimen anti-etnis Tionghoa serta kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat menjadi pemicu utama pecahnya kerusuhan di berbagai daerah. Korban jiwa dan kerusakan harta benda yang terjadi menimbulkan trauma mendalam bagi para korban dan keluarganya.

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM didefinisikan sebagai setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Terkait pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra yang kemarin mengklarifikasi pernyataannya soal peristiwa 1998 bukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Benarkah demikian?

Dalam pasal 7 huruf a UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan jelas disebutkan bahwa salah satu yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat adalah kejahatan genosida. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 8 UU tersebut, genosida adalah bentuk kejahatan kemanusiaan yang paling berat, di mana tindakan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk secara sistematis menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian dari suatu kelompok berdasarkan identitas mereka, baik itu kebangsaan, ras, etnis, atau agama.

Tindakan tragedi 1998 ini bukan hanya mencakup pembunuhan massal, tetapi juga segala upaya yang bertujuan menghilangkan eksistensi kelompok tersebut, seperti menciptakan kondisi hidup yang tidak layak, memaksakan pemindahan paksa, membatasi kelahiran dalam kelompok tersebut, atau bahkan memisahkan anak-anak dari keluarga mereka.

Sedangkan etnic cleansing itu adalah satu, dari sekian banyak bentuk kejahatan genosida, mulai dari membunuh anggota kelompok, menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang parah bagi anggota kelompok, menciptakan kondisi hidup yang membuat kelompok itu musnah, baik seluruhnya atau sebagian, memaksakan tindakan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok dan memindahkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok lain secara paksa.

Apa yang disampaikan oleh Yusril beberapa hari yang lalu, tentunya harus kita telaah dengan baik. Yusril mengatakan bahwa tragedi 1998 memang tidak terjadi genosida, apakah betul? Tentunya perlu dilakukan upaya pembuktian lebih lanjut, bukan berarti tidak terjadi pelanggaran HAM pada tragedi 1998.

Menurut saya tragedi 1998 adalah salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal tersebut bisa dilihat dari, terjadinya pembunuhan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu, serta kejahatan-kejahatan apartheid, termasuk berbagai bentuk kekerasan lainnya.

“Tragedi 1998 meninggalkan luka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Meskipun terdapat perbedaan pandangan di kalangan ahli hukum, upaya untuk mengklarifikasi peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum perlu dilakukan secara komprehensif. Pemerintah harus menunjukkan itikad baik dalam mengungkap kebenaran, memberikan keadilan bagi korban, dan memastikan pemulihan yang memadai. Hanya dengan upaya tersebut, bangsa Indonesia dapat memulihkan kepercayaan dan menjamin tidak terulangnya peristiwa serupa di masa depan.”

 

Analisis Ahli Hukum Terkait Kualifikasi Tragedi 1998

Pandangan ahli hukum pidana; sebagian ahli hukum pidana berpendapat bahwa tindakan-tindakan yang terjadi selama Tragedi 1998, seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan, dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran berat HAM berdasarkan hukum pidana nasional. Hal ini karena tindakan-tindakan tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang melanggar hak dasar individu.

Sedangkan, beberapa ahli hukum tata negara berpendapat bahwa Tragedi 1998 tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang sistematis dan terorganisir oleh negara. Menurut mereka, kerusuhan yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks, bukan kebijakan atau tindakan langsung dari pemerintah.
Meskipun terdapat perbedaan pandangan, secara umum para ahli sepakat bahwa Tragedi 1998 perlu diselidiki dan diklarifikasi secara komprehensif untuk menentukan apakah tindakan-tindakan yang terjadi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Bagi korban dan keluarga korban, Tragedi 1998 meninggalkan luka yang mendalam. Mereka menuntut adanya pengakuan, pertanggungjawaban, dan pemulihan yang memadai dari negara. Korban dan keluarga korban menceritakan pengalaman traumatis mereka, seperti kehilangan anggota keluarga, kekerasan fisik, dan pelecehan seksual. Mereka merasa penderitaan yang dialami belum mendapat perhatian dan penyelesaian yang adil dari pemerintah.

Tantangan Pembuktian Kasus Pelanggaran HAM
Kurangnya dokumentasi resmi menjadi salah satu kendala utama dalam mengkualifikasikan Tragedi 1998 sebagai pelanggaran HAM adalah minimnya dokumentasi resmi dari aparat penegak hukum dan pemerintah. Hal ini menyulitkan proses pembuktian dan pengumpulan bukti yang memadai. Rentang waktu yang cukup lama sejak peristiwa terjadi juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak bukti fisik dan saksi-saksi kunci telah hilang atau sulit ditemukan, sehingga mempersulit proses investigasi dan penuntutan. Adanya resistensi dari pihak-pihak yang diduga terlibat, seperti aparat keamanan dan oknum pemerintah, turut menghambat upaya pengungkapan kebenaran dan pencarian keadilan bagi korban dan keluarga.

Peran pemerintah dalam penyelesaian tragedi 1998 telah melakukan Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM). KPP HAM merekomendasikan Tragedi 1998 sebagai pelanggaran HAM berat, namun rekomendasi tersebut belum ditindaklanjuti secara memadai. Pengalokasian dana pemulihan korban yang dilakukan pemerintah dinilai masih terbatas dan belum komprehensif, serta belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan korban dan keluarga korban. Lemahnya penegakan hukum hinga kini, tidak ada satupun pelaku yang diadili dan dikenakan sanksi pidana yang memadai, sehingga rasa keadilan korban dan masyarakat belum terpenuhi.

Dalam tantangan yang digambarkan diatas, tentunya diperlukannya rekomendasi penanganan tragedi ini dengan cara apa saja? Pertama, bisa dengan cara melakukan investigasi yang komprehensif dan transparan untuk mengungkap kebenaran seputar Tragedi 1998, termasuk mengidentifikasi pihak-pihak yang bertanggung jawab. Kedua, menindaklanjuti rekomendasi KPP HAM dengan memproses secara hukum para pelaku pelanggaran HAM dan memberikan hukuman yang setimpal. Ketiga, memberikan kompensasi, rehabilitasi, dan bentuk pemulihan lainnya yang memadai bagi korban dan keluarga korban, serta memastikan hak-hak mereka terpenuhi. Terakhir, melakukan upaya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait Tragedi 1998 untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa depan.

Pemerintah harus menunjukkan itikad baik dalam mengungkap kebenaran, memberikan keadilan bagi korban, dan memastikan pemulihan yang memadai. Hanya dengan upaya tersebut, bangsa Indonesia dapat memulihkan kepercayaan dan menjamin tidak terulangnya peristiwa serupa di masa depan

Artikel Terkait

Rekomendasi