Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) saat ini tengah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) atas permintaan tiga orang pemohon yang merupakan terpidana kasus korupsi. Ketiga pemohon, yang terdiri dari mantan pejabat dan mantan kepala daerah, meminta penghapusan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dari UU Tipikor yang dinilai merugikan. Mereka berargumen bahwa pasal-pasal ini perlu diubah agar hanya berlaku bagi kasus korupsi yang melibatkan suap, penggelapan, pemerasan, atau penyalahgunaan jabatan, bukan semata-mata atas kerugian negara.
Para pemohon terdiri dari Syahril Japarin, mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (2016-2017), Kukuh Kertasafari, mantan pegawai PT Chevron Pacific Indonesia, dan Nur Alam, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara. Permohonan mereka diajukan oleh tim kuasa hukum yang dipimpin oleh Annisa E F Ismail dan Maqdir Ismail dalam sidang perbaikan permohonan pada 28 Oktober di Mahkamah Konstitusi. Kuasa hukum para pemohon menyatakan bahwa mereka meminta MK untuk membatalkan atau menyesuaikan ketentuan pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, terutama terkait frasa-frasa yang dianggap melampaui prinsip-prinsip keadilan dalam kasus korupsi yang tidak langsung terkait suap atau kejahatan yang bersifat merusak.
Menurut para pemohon, UU Tipikor seharusnya lebih berfokus pada upaya pencegahan terhadap tindak korupsi yang melibatkan penyalahgunaan jabatan dan gratifikasi yang merusak ketertiban umum. Dalam penjelasan mereka, daya rusak dari tindakan seperti penyuapan, penggelapan, dan pemerasan lebih tinggi daripada sekadar kerugian finansial yang disebabkan oleh tindakan yang tidak secara langsung menyangkut tindakan kejahatan. Annisa menegaskan bahwa dampak dari tindakan-tindakan yang bersifat penyalahgunaan jabatan atau gratifikasi ini dapat menciptakan kerusakan sistemik yang berdampak hingga lintas generasi.
Para pemohon berargumen bahwa pembatasan ini juga sejalan dengan ketentuan dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Mereka juga menyebut bahwa kerugian negara akibat kerugian korporasi atau BUMN yang melibatkan pejabat bisa tetap diatur dengan mengacu pada UU PT atau UU BUMN untuk memastikan tanggung jawab direksi dan mekanisme penanganan kerugian secara spesifik.
Adapun dalam petitum permohonan, ketiga pemohon meminta agar frasa dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau setidaknya disesuaikan. Mereka berharap pasal-pasal ini hanya dikenakan pada tindakan yang berkaitan langsung dengan bentuk-bentuk korupsi seperti suap dan gratifikasi. Poin lain yang diajukan adalah penghapusan ketentuan tentang frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” yang dianggap tidak sesuai dengan konteks tertentu dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat perusahaan atau penyelenggara negara.