Abolisi merupakan hak prerogatif Presiden Republik Indonesia yang diatur secara tegas dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, dengan kewenangan untuk menghentikan proses hukum yang masih berjalan sebelum sampai pada persidangan. Peraturan terkait tata cara pemberian abolisi diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Seiring perjalanan sejarah bangsa, sejumlah Presiden Republik Indonesia memberikan abolisi dalam rangka rekonsiliasi nasional, penyelesaian konflik, dan menjaga stabilitas politik.
Pada era Presiden Soekarno, pada 1959, abolisi diberikan kepada kelompok pemberontak DI/TII pimpinan Kahar Muzakar melalui Keputusan Presiden Nomor 330 Tahun 1959. Selanjutnya, pada 1961, melalui Keputusan Presiden Nomor 449 Tahun 1961, Soekarno memberikan abolisi kepada kelompok pemberontak PRRI/Permesta, Kartosuwiryo, serta kelompok pemberontak Republik Maluku Selatan (RMS).
Kemudian pada masa Presiden Soeharto, pada tahun 1977, pemberian abolisi dilakukan kepada para pengikut Gerakan Fretilin di Timor Timur melalui Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 1977. Langkah tersebut diambil untuk meredam konflik separatisme dan mendukung stabilitas pembangunan wilayah tersebut.
Memasuki era reformasi, Presiden BJ Habibie memberikan abolisi kepada sejumlah tahanan politik, antara lain Moh. Arif alias Arif Kusno, Agustiana bin Suryana, Mimih Khaeruman, David Dias Ximenes, Salvador da Silva, Gasfar da Silva, dan Boby Xavier Luis Pereira sebagai bagian dari agenda rekonsiliasi nasional pasca-Orde Baru.
Selanjutnya, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengeluarkan keputusan abolisi pada tahun 1999 untuk 33 tahanan politik melalui Keputusan Presiden Nomor 173 Tahun 1999. Tindakan ini merefleksikan komitmen pemerintah terhadap demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia.
Di sisi lain, Presiden Megawati Soekarnoputri tidak tercatat secara resmi memberikan abolisi selama masa pemerintahannya, meskipun sempat muncul pembicaraan terkait pengampunan hukum kepada mantan Presiden Soeharto yang akhirnya tidak terealisasi.
Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemberian abolisi dilakukan pada 2005 kepada anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terkait proses perdamaian Aceh, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2005. Abolisi ini menjadi bagian penting dalam penyelesaian konflik yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Presiden Joko Widodo turut memberikan abolisi kepada sejumlah individu, termasuk mantan pimpinan kelompok bersenjata Aceh Din Minimi pada 2016 dan beberapa kasus lain guna mempercepat penyelesaian hukum dan mewujudkan keadilan restoratif.
Di era Presiden Prabowo Subianto yang memulai masa jabatan pada 2024, abolisi juga digunakan sebagai hak konstitusional untuk menghentikan proses hukum yang sedang berjalan. Pada 30 Juli 2025, Prabowo memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih “Tom” Lembong setelah Keputusan ini disetujui DPR pada 31 Juli 2025, menghentikan kasus hukum terkait impor gula yang menjerat Tom Lembong.
Penting dicatat bahwa amnesti berbeda dengan abolisi. Pada waktu bersamaan, Prabowo juga memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan sejumlah narapidana lain, yang merupakan hak konstitusional terpisah.
Pelaksanaan pemberian abolisi selalu melalui mekanisme yang melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wujud check and balance sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, guna menjamin keputusan Presiden berjalan transparan dan sesuai hukum.
Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 menjelaskan bahwa abolisi menghentikan proses hukum yang masih berjalan sebelum putusan pengadilan, berbeda dengan grasi yang diberikan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Sumber
https://kumparan.com/kumparannews/daftar-abolisi-sejak-presiden-sukarno-hingga-prabowo-25ZxKz4vsBc
https://www.tempo.co/politik/sukarno-hingga-prabowo-pernah-keluarkan-abolisi-dan-amnesti-2054461