Revisi Paradigma Ketenagakerjaan: Wacana Penghapusan Outsourcing oleh Prabowo dan Tanggapan Politik PDIP

Ilustrasi Ketenagakerjaan (Sumber Gambar: Talenta.co)
Ilustrasi Ketenagakerjaan (Sumber Gambar: Talenta.co)

Pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang berkomitmen untuk menghapus sistem outsourcing di Indonesia kembali menghidupkan perdebatan yuridis dan politis seputar model hubungan kerja yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade. Wacana tersebut tidak hanya menyentuh aspek perlindungan tenaga kerja, tetapi juga membuka kembali diskursus historis mengenai akar kebijakan outsourcing yang disebut-sebut dimulai pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Menanggapi pernyataan Prabowo, PDI Perjuangan (PDIP) menyampaikan bahwa outsourcing pada masa Megawati dilakukan dalam kerangka penyesuaian struktural pasca-krisis ekonomi 1998, dan perlu dipahami dalam konteks transisi ekonomi yang kompleks, bukan sebagai kebijakan anti-buruh.

Outsourcing di Indonesia memperoleh dasar legalnya secara eksplisit melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya dalam Pasal 64 hingga 66. Ketentuan ini memberikan ruang bagi pemberi kerja untuk menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, dengan syarat tertentu.

Namun, dalam praktiknya, outsourcing berkembang menjadi mekanisme fleksibilisasi tenaga kerja yang acap kali mengurangi kepastian kerja, stabilitas pendapatan, dan hak normatif pekerja. Hal ini mendorong kritik dari serikat buruh dan akademisi hukum ketenagakerjaan yang menilai sistem ini sebagai bentuk pengurangan perlindungan hukum terhadap pekerja, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Rencana penghapusan outsourcing oleh Prabowo menandai perubahan arah politik hukum ketenagakerjaan menuju pendekatan yang lebih proteksionis terhadap buruh. Bila benar diimplementasikan, kebijakan ini akan memerlukan revisi substansial terhadap perangkat hukum yang berlaku, termasuk potensi amandemen terhadap UU Ketenagakerjaan maupun aturan pelaksananya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.

Secara akademik, komitmen Prabowo tersebut dapat dimaknai sebagai upaya membangun ulang kontrak sosial antara negara dan kelas pekerja. Ia memperlihatkan keinginan untuk menyeimbangkan relasi industrial yang selama ini dianggap timpang akibat praktik kerja fleksibel yang cenderung eksploitatif.

PDIP, sebagai partai yang kerap mengedepankan narasi kerakyatan, memberikan respons hati-hati terhadap wacana penghapusan outsourcing. Menurut sejumlah kadernya, termasuk dari fraksi DPR, kebijakan outsourcing pada era Megawati dirancang dalam situasi pemulihan ekonomi nasional pasca-reformasi dan tidak dimaksudkan sebagai pengabaian terhadap hak pekerja.

Namun demikian, tanggapan ini juga membuka ruang bagi evaluasi akademis terhadap konsistensi ideologis partai politik dalam menempatkan posisi buruh dalam kebijakan nasional. Apakah PDIP akan mendukung langkah Prabowo sebagai kelanjutan dari agenda kerakyatan, ataukah justru bersikap defensif terhadap warisan kebijakannya sendiri—adalah pertanyaan politik-hukum yang patut dicermati.

Artikel Terkait

Rekomendasi