Anggota Komisi X DPR RI, Puti Guntur Soekarno, meminta Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, untuk lebih memperhatikan nasib masyarakat penghayat kepercayaan di Indonesia. Puti menekankan pentingnya segera menyelesaikan penyusunan Naskah Urgensi untuk menyusun Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK), yang diharapkan dapat memperkuat perlindungan hukum bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan masyarakat adat. Menurutnya, naskah tersebut akan memberikan dasar hukum yang lebih jelas dan mendalam dalam melindungi komunitas penghayat kepercayaan, yang sering kali menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan keyakinan dan tradisi mereka.
“Penyusunan naskah urgensi ini sangat vital untuk menciptakan perlindungan yang lebih terstruktur dan menyeluruh bagi komunitas penghayat kepercayaan yang seringkali terpinggirkan dan dihadapkan dengan berbagai kesulitan dalam menjalankan kepercayaan mereka,” kata Puti dalam pernyataannya pada Kamis (7/11/2024).
Politisi PDI Perjuangan tersebut mengungkapkan bahwa ia sering menerima keluhan dari masyarakat penghayat kepercayaan dan masyarakat adat terkait diskriminasi yang mereka alami, terutama dalam sektor pendidikan. Dia berharap dengan diterbitkannya NSPK oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, pemerintah dapat membangun sistem perlindungan yang tidak hanya mengakui eksistensi mereka, tetapi juga memastikan bahwa mereka bisa bebas menjalankan tradisi dan keyakinan mereka tanpa hambatan.
“Masyarakat penghayat kepercayaan ini adalah bagian dari Indonesia, dan mereka merupakan bagian dari identitas nasional kita. Mereka berhak mendapatkan perlindungan yang sama seperti warga negara lainnya,” lanjut Puti.
Puti juga menyampaikan keyakinannya kepada Kementerian Kebudayaan bahwa isu ini harus dipandang sebagai isu strategis yang sangat penting untuk keberlangsungan dan perlindungan masyarakat penghayat kepercayaan dan adat. Dengan adanya langkah-langkah konkret dalam perlindungan hak mereka, Puti berharap diskriminasi yang selama ini mereka alami bisa diminimalisir.
Salah satu bentuk diskriminasi yang ditemukan adalah dalam bidang pendidikan, di mana anak-anak dari kaum penghayat kepercayaan seringkali terdaftar sebagai penganut agama lain di sekolah. Temuan dari Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial menyebutkan bahwa hal ini menyebabkan mereka tidak mendapatkan pelajaran kepercayaan sesuai dengan keyakinan yang dianut. Selain itu, Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) juga mencatat bahwa banyak guru di sekolah-sekolah yang tidak mengetahui bahwa penghayat kepercayaan telah diakui secara resmi oleh negara. Akibatnya, pemenuhan hak anak-anak penghayat kepercayaan dalam mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinan mereka belum sepenuhnya terwujud.
Puti berharap langkah-langkah yang lebih nyata dapat diambil oleh pemerintah untuk menjamin pendidikan yang inklusif bagi semua kalangan, tanpa diskriminasi berdasarkan keyakinan, serta memastikan masyarakat penghayat kepercayaan dan masyarakat adat mendapatkan hak-hak mereka dengan adil dan setara.