Kementerian Keuangan melaporkan bahwa realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Maret 2025 mencatat defisit sebesar Rp104,2 triliun, atau setara dengan 0,47% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Menanggapi kekhawatiran publik terhadap angka tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa masyarakat tidak perlu panik karena posisi fiskal masih dalam koridor yang terukur dan terkendali.
Pernyataan tersebut muncul dalam konteks meningkatnya perhatian publik terhadap stabilitas fiskal nasional. Namun demikian, dari sudut pandang hukum keuangan negara, angka defisit bukan semata-mata indikator ekonomi makro, melainkan juga merupakan produk hukum yang melekat pada prinsip konstitusionalitas anggaran.
Dalam kerangka Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, pengelolaan APBN merupakan wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat di bidang keuangan negara dan harus dilakukan melalui mekanisme legal yang ketat, yakni persetujuan DPR melalui undang-undang. Defisit anggaran, meskipun diizinkan secara hukum, merupakan penyimpangan fiskal yang harus tunduk pada batasan yuridis yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya ketentuan batas maksimal defisit sebesar 3% dari PDB.
Dengan demikian, defisit APBN sebesar Rp104 triliun perlu dibaca tidak hanya dalam konteks rasionalitas ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari praktik konstitusional yang dapat dan harus diuji secara hukum.
Pernyataan Sri Mulyani yang menenangkan publik tidak dapat dilepaskan dari kedudukannya sebagai pejabat administratif negara yang bertanggung jawab pada pengelolaan keuangan negara. Dalam perspektif hukum administrasi negara, komunikasi publik oleh seorang Menteri Keuangan tidak hanya bersifat retoris, tetapi juga membawa implikasi hukum, karena menyangkut pertanggungjawaban atas kebijakan fiskal yang didanai oleh otorisasi legal DPR dan berdampak langsung pada hak ekonomi warga negara.
Sebagai aktor dalam sistem fiskal publik, Menteri Keuangan tidak hanya menjalankan fungsi teknokratis, melainkan juga fungsi normatif, yaitu menjamin bahwa seluruh kebijakan fiskal berada dalam batas dan prinsip negara hukum (rechtsstaat), termasuk prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi publik.
Defisit yang muncul pada kuartal pertama ini juga menimbulkan pertanyaan normatif terkait akurasi asumsi dasar APBN, mekanisme monitoring fiskal, dan efektivitas kontrol kelembagaan. Jika realisasi defisit menunjukkan potensi deviasi terhadap asumsi pendapatan atau belanja negara, maka dibutuhkan mekanisme koreksi hukum melalui perubahan APBN atau intervensi kebijakan yang tunduk pada prinsip kehati-hatian fiskal (fiscal prudence).
Selain itu, dalam perspektif intergenerational equity, pengelolaan defisit harus mempertimbangkan keberlanjutan fiskal jangka panjang dan dampaknya terhadap generasi mendatang. Maka, prinsip legalitas fiskal bukan sekadar perizinan defisit, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban konstitusional atas setiap keputusan fiskal yang diambil oleh pemerintah.
Defisit APBN sebesar Rp104 triliun hingga Maret 2025 merupakan isu hukum fiskal yang memerlukan perhatian serius dalam kerangka hukum tata negara dan hukum administrasi. Pernyataan Menteri Keuangan bahwa masyarakat tidak perlu panik hendaknya tidak dimaknai sebagai bentuk pengabaian terhadap kehati-hatian fiskal, melainkan harus diikuti oleh langkah-langkah hukum konkret yang menjamin keterbukaan informasi, konsistensi kebijakan, dan keberlanjutan fiskal nasional.
Dalam negara hukum, stabilitas fiskal bukan hanya dicapai melalui pengelolaan makroekonomi, tetapi juga melalui komitmen konstitusional terhadap prinsip legalitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam seluruh proses penganggaran negara.