Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan yang menghapuskan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden, atau yang dikenal dengan istilah presidential threshold. Pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024, yang dibacakan pada Kamis (2 Januari 2024). Keputusan ini menandai dihapuskannya norma yang selama ini membatasi pencalonan presiden, yang sebelumnya menjadi bahan gugatan sebanyak 36 kali ke Mahkamah Konstitusi.
Titi Anggraini, seorang aktivis pemilu yang juga mengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, mengungkapkan apresiasinya terhadap putusan MK tersebut. Ia menjelaskan bahwa keputusan ini sangat dinanti oleh para penggiat pemilu dan demokrasi, yang telah lama mengkritik adanya ambang batas pencalonan presiden sebagai hambatan bagi proses demokrasi. Titi juga mengungkapkan bahwa putusan ini merupakan kemenangan bagi rakyat Indonesia, karena selama ini ambang batas pencalonan presiden dianggap bertentangan dengan moralitas politik yang ada di Indonesia. Menurutnya, keputusan ini harus dimanfaatkan oleh partai politik untuk lebih fokus dalam menyiapkan calon presiden terbaik di Pemilu 2029 mendatang.
Putusan MK ini mengarah pada pemahaman bahwa norma dalam Pasal 222 UU Pemilu yang mengharuskan partai politik atau gabungan partai politik untuk memperoleh 20% kursi DPR atau 25% suara sah pada Pemilu legislatif sebelumnya, tidak lagi relevan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi hak setiap warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Ketua MK, Suhartoyo, dalam pembacaan putusan tersebut menyampaikan bahwa MK mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan, dengan alasan bahwa Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan keputusan ini, MK mengembalikan hak demokratis untuk menentukan calon presiden kepada masyarakat, tanpa adanya pembatasan yang dianggap tidak sesuai dengan semangat konstitusi. Pasal 222 yang dulu menjadi penghalang bagi banyak partai politik kecil untuk mencalonkan presiden, kini telah dihapus. Titi Anggraini berharap bahwa dengan adanya keputusan ini, partai politik dapat memanfaatkan kesempatan untuk menyiapkan calon-calon terbaik yang tidak terhambat oleh ambang batas pencalonan yang sebelumnya ada. Hal ini juga menjadi sebuah tantangan bagi partai politik untuk semakin memperkuat internal mereka dan memberikan ruang bagi lebih banyak kandidat potensial untuk maju ke pemilihan presiden mendatang.