**Rekam Jejak Burhan Dahlan, Ketua Majelis Hakim MA yang Tolak PK Kasus Vina Cirebon**
Burhan Dahlan, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA), baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh tujuh terpidana kasus pembunuhan Vina Dewi dan Muhammad Rizky pada 2016 di Cirebon, Jawa Barat. Penolakan ini didasarkan pada hasil pertimbangan majelis hakim yang menilai bahwa tidak ada kekhilafan dalam putusan sebelumnya, dan bukti baru atau novum yang diajukan oleh para pemohon tidak memenuhi syarat sebagai bukti baru sesuai dengan ketentuan Pasal 263 Ayat 2 KUHAP.
Permohonan PK kasus ini tercatat dalam dua nomor perkara: Nomor 198 PK/PID/2024 dengan pemohon Eko Ramadhani dan Rivaldi Aditya, serta Nomor 199 PK/PID/2024 yang diajukan oleh Eka Sandy, Hadi Saputra, Jaya, Sudirman, dan Supriyanto. Kedua perkara ini disidangkan di bawah pimpinan Burhan Dahlan sebagai Ketua Majelis Hakim. Berdasarkan informasi dari situs resmi MA, seluruh permohonan PK tersebut ditolak. Dengan demikian, ketujuh terpidana tetap menjalani hukuman penjara seumur hidup.
Menurut Yanto, Juru Bicara MA, bukti yang diajukan dalam PK oleh para terpidana tidak memenuhi kriteria sebagai novum atau bukti baru. Dengan putusan ini, MA menegaskan bahwa putusan sebelumnya tetap berlaku. Dalam konferensi pers yang digelar pada Senin (16/12/2024), Yanto juga menjelaskan bahwa tidak ada indikasi kekhilafan dalam pengadilan sebelumnya sehingga dasar pengajuan PK dinyatakan tidak valid.
Meski demikian, kasus ini menuai tanggapan dari berbagai pihak. Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyebut ada beberapa kelemahan dalam proses hukum kasus ini. Ia menyoroti terbatasnya akses para terpidana terhadap barang bukti, validasi yang belum tuntas terhadap bukti komunikasi elektronik, serta keputusan yang dinilai menguntungkan aparat hukum tertentu. Reza juga menyarankan agar tim penasihat hukum para terpidana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membahas isu-isu yang terkait dengan keadilan dan transparansi.
Kasus pembunuhan ini sendiri bermula pada tahun 2016, ketika Vina Dewi (16) dan Muhammad Rizky alias Eki (16) ditemukan tewas. Peristiwa ini menyulut perhatian luas karena adanya tuduhan rekayasa kasus dan dugaan keterlibatan aparat dalam proses hukumnya. Dari delapan orang yang diadili, tujuh dijatuhi hukuman seumur hidup, sementara satu orang, Saka Tatal, telah bebas setelah menjalani hukuman delapan tahun penjara.
Burhan Dahlan, yang menjadi tokoh penting dalam putusan PK ini, memiliki rekam jejak panjang di bidang hukum. Lahir di Bandung pada 1 Januari 1955, Burhan merupakan purnawirawan TNI dengan pangkat Mayor Jenderal. Ia diangkat sebagai Hakim Agung pada 11 Maret 2013, dan sejak 9 Oktober 2018 menjabat sebagai Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung. Karirnya meliputi berbagai posisi strategis, mulai dari Kepala Pengadilan Militer hingga Panitera Mahkamah Militer Tinggi di berbagai wilayah Indonesia.
Pendidikan Burhan juga mencerminkan dedikasinya terhadap bidang hukum. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Pendidikan Indonesia (1979) sebelum melanjutkan studi hukum di Akademi Hukum Militer Jakarta (1984). Gelar magister hukum ia peroleh dari Sekolah Tinggi Hukum Militer pada 2006, dan gelar doktor hukum dari Universitas Jayabaya pada 2016.
Burhan Dahlan juga dikenal karena berbagai jabatan penting di bidang hukum militer. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Hukum KOSTRAD, Kepala Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, hingga Kepala Pengadilan Militer Utama Jakarta. Sebagai Ketua Kamar Militer MA, ia memimpin sejumlah kasus besar, termasuk perkara yang melibatkan aparat militer.
Putusan Burhan dalam kasus Vina Cirebon ini menegaskan kembali prinsip keadilan yang dipegangnya, meskipun tetap menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat. Sementara itu, langkah hukum selanjutnya dari para terpidana, termasuk kemungkinan judicial review, akan terus menjadi perhatian publik dan pihak-pihak terkait.