Polda Sumatera Barat (Sumbar) memutuskan untuk menutup kasus kematian Afif Maulana, seorang siswa berusia 13 tahun, dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP2 Lidik). Keputusan ini diumumkan pada 31 Desember 2024, setelah hasil gelar perkara menunjukkan bahwa penyebab kematian Afif bukan karena penganiayaan, melainkan akibat benturan benda keras setelah jatuh dari ketinggian.
Namun, langkah Polda Sumbar ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk keluarga korban dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang. Mereka menilai penghentian penyelidikan terlalu dini dan tidak didukung oleh investigasi yang memadai. Kuasa hukum keluarga, Alfi Syukri, menyatakan bahwa alat bukti seperti CCTV dan hasil visum seharusnya dimaksimalkan untuk mengungkap fakta.
Kepala Polda Sumbar Irjen Suharyono menegaskan bahwa keputusan tersebut diambil secara profesional dan terintegrasi, melibatkan tim forensik dan ahli. Ia juga membuka kemungkinan untuk membuka kembali kasus jika ada bukti baru yang muncul. Namun, banyak pihak merasa bahwa Polda tidak serius dalam menangani kasus ini, mengingat adanya dugaan pelanggaran disiplin oleh polisi yang terlibat dalam penangkapan sebelum kematian Afif.
LBH Padang mendesak agar Polda Sumbar lebih serius dalam mengusut kasus ini dan melibatkan lembaga-lembaga terkait untuk memastikan proses hukum berjalan sesuai aturan. Mereka menekankan pentingnya pendekatan berbasis bukti ilmiah dalam penyelidikan ulang. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga berencana meminta klarifikasi terkait prosedur gelar perkara yang dilakukan oleh Polda Sumbar.
Kasus kematian Afif Maulana telah menarik perhatian publik sejak ia ditemukan tewas di bawah Jembatan Batang Kuranji pada Juni 2024. Dengan penutupan kasus ini, banyak yang berharap agar keadilan bagi korban dapat segera terwujud melalui investigasi yang lebih mendalam dan transparan.