Pada Sabtu, 30 November 2024, sebuah tragedi pembunuhan terjadi di kompleks perumahan di kawasan Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan. Peristiwa ini melibatkan seorang remaja berinisial MAS, yang baru berusia 14 tahun, sebagai pelaku utama. MAS diduga telah melakukan tindakan keji dengan menghabisi nyawa ayah dan neneknya serta menyebabkan ibunya mengalami luka serius. Kasus ini menempatkan MAS sebagai anak yang berhadapan dengan hukum dalam kerangka peradilan anak.
Menurut Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Jakarta Selatan, AKBP Nurma Setya Dewi, penanganan kasus ini berada di bawah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Selatan. Hingga saat ini, pihak kepolisian telah memeriksa lima orang saksi. MAS sendiri dikenai Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pembunuhan dengan sengaja. “Pasal 338 KUHP mengancam pidana penjara paling lama 15 tahun bagi pelaku pembunuhan,” ungkap Nurma pada 30 November 2024.
Meskipun demikian, Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Pol Ade Rahmat Idnal, menegaskan bahwa penanganan kasus MAS akan sepenuhnya mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). “Kami dalam penyidikan ini akan menjunjung tinggi aturan undang-undang, khususnya UU SPPA yang mengatur peradilan anak,” jelas Ade pada 1 Desember 2024, sebagaimana dilansir oleh Antara.
Sistem Peradilan Anak dan Pendekatannya
Dalam kasus ini, MAS ditangani melalui mekanisme peradilan anak sebagaimana diatur dalam UU SPPA. Sistem peradilan anak mencakup keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, dimulai dari tahap penyidikan hingga pembimbingan setelah proses hukum selesai. Sistem ini berlandaskan pada prinsip-prinsip yang mengutamakan perlindungan anak, keadilan, dan kepentingan terbaik bagi anak, serta menghindari diskriminasi. Selain itu, sistem ini juga menekankan penghargaan terhadap hak anak, pengutamaan upaya rehabilitasi, serta penggunaan penahanan atau hukuman pidana sebagai langkah terakhir.
Berdasarkan pengaturan dalam UU SPPA, anak yang dianggap berkonflik dengan hukum adalah individu yang telah berusia 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan diduga melakukan tindak pidana. Dalam hal ini, jika pelaku berusia di bawah 12 tahun, pihak penyidik dan pembimbing kemasyarakatan harus menyerahkan anak tersebut kepada orang tua atau wali, atau memasukkannya ke dalam program pendidikan dan pembinaan kesejahteraan sosial.
Diversi sebagai Upaya Restoratif
Salah satu elemen penting dalam peradilan anak adalah penerapan diversi, yaitu penyelesaian perkara anak di luar jalur peradilan pidana. Diversi wajib diupayakan pada tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan jika ancaman pidana bagi anak kurang dari tujuh tahun serta bukan merupakan kasus pengulangan tindak pidana. Diversi bertujuan untuk menghindari stigmatisasi terhadap anak, memberikan kesempatan rehabilitasi, serta menciptakan suasana kekeluargaan dalam penyelesaian kasus.
Dalam proses ini, setiap tahapan wajib mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak serta menjaga kerahasiaan identitas anak, korban, dan saksi, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 UU SPPA. Kerahasiaan tersebut meliputi nama anak, identitas orang tua, alamat, wajah, dan informasi lain yang dapat mengungkap jati diri anak.
Pentingnya Prinsip Perlindungan Anak
Kasus MAS di Lebak Bulus menggarisbawahi pentingnya penerapan prinsip perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana. Selain memastikan pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya, pendekatan ini juga memberikan perhatian terhadap rehabilitasi anak agar dapat kembali ke masyarakat sebagai individu yang lebih baik. Dalam setiap tahap, mulai dari penyidikan hingga pembimbingan, aparat hukum wajib menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa.