Pemikiran Keliru Capim KPK Terkait Usulan Penghapusan OTT

Author Photoportalhukumid
21 Nov 2024
Johanis Tanak (www.tribunnewswiki.com).
Johanis Tanak (www.tribunnewswiki.com).

Pengamat menanggapi dengan kritik keras terhadap usulan Johanis Tanak, salah satu calon pimpinan KPK petahana, yang dalam sesi uji kepatutan dan kelayakan di DPR menyarankan agar praktik Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pelaku tindak pidana korupsi dihapuskan. Menurut Tanak, OTT bertentangan dengan prinsip yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, pengamat menilai justru praktik OTT yang selama ini dilakukan KPK telah terbukti menjadi salah satu metode yang efektif dalam memerangi korupsi di Indonesia. OTT, yang secara langsung menangkap tangan pelaku korupsi, memiliki efek jera yang sangat kuat terhadap para calon pelaku kejahatan.

Zaenur Rohman, seorang peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM), mengungkapkan bahwa OTT merupakan strategi yang penting untuk mengungkapkan kasus suap yang sulit terungkap hanya melalui konstruksi kasus biasa. Zaenur juga menekankan bahwa penghapusan OTT dapat menghilangkan efek gentar (deterrent effect) terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Menurutnya, jika OTT dihentikan, maka para pelaku tindak korupsi akan merasa aman, dan hal ini justru akan melemahkan posisi KPK dalam pemberantasan korupsi.

Zaenur juga mencatat bahwa usulan Tanak yang hendak menghapus OTT terkesan tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa anggota DPR sendiri merupakan pihak yang rentan terlibat dalam praktik korupsi. Oleh karena itu, mereka sering kali merasa khawatir terhadap tindakan OTT yang mengarah pada penangkapan langsung. Zaenur bahkan menyindir pernyataan beberapa politisi yang mempertanyakan mengapa suap tidak dapat dicegah sebelum terjadi. Ia menilai bahwa informasi tentang potensi suap sering kali sudah beredar sebelum akhirnya terjadi, dan pencegahan sebelum tindakan suap dianggap tidak realistis.

Alvin Nicola, peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), turut mengkritik pendapat Tanak mengenai OTT yang dianggap tidak sesuai dengan KUHAP. Menurut Alvin, tidak ada ketentuan dalam KUHAP yang melarang metode OTT. Malahan, di negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi seperti Indonesia, OTT adalah salah satu pendekatan yang efektif, asalkan dilakukan secara profesional dan akuntabel. Alvin menambahkan bahwa meskipun sistem penindakan KPK perlu dievaluasi, penghentian OTT bukanlah solusi yang tepat.

Di sisi lain, institusi Indonesia Memanggil (IM57+) Institute menganggap bahwa pernyataan Tanak tersebut mencerminkan kekhawatiran terkait dengan potensi etik yang pernah muncul selama kepemimpinannya di KPK. Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menyebut bahwa minimnya prestasi KPK dalam pengungkapan kasus korupsi mungkin menjadi alasan Tanak untuk membenarkan penghapusan OTT. Ia juga menggarisbawahi kejanggalan jika KPK menghapus OTT sementara penegak hukum lain, seperti Kejaksaan Agung, justru mulai mengadopsi metode tersebut dalam upaya pemberantasan kejahatan.

Lakso juga memperingatkan bahwa jika DPR kembali memilih pemimpin KPK yang memiliki pandangan kontroversial seperti Tanak, maka hal itu akan mencerminkan kegagalan dalam membawa perubahan yang diharapkan dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, hal ini bisa menjadi pengulangan kesalahan yang pernah terjadi pada masa kepemimpinan Firli Bahuri, yang sempat mengeluarkan pernyataan kontroversial yang terbukti merugikan pemberantasan korupsi setelah menjabat sebagai Ketua KPK.

Sementara itu, Benny Jozua Mamoto, calon Dewan Pengawas (Dewas) KPK, menyatakan bahwa jika OTT terus dilakukan, maka perlu ada payung hukum khusus yang mengatur praktik tersebut agar tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Benny berpendapat bahwa metode OTT memiliki kemiripan dengan teknik penyidikan dalam kasus narkotika yang sudah diatur dalam undang-undang, sehingga perlu ada regulasi yang jelas untuk mengatur cara pelaksanaannya.

Hingga kini, nasib OTT di KPK masih belum jelas setelah Setyo Budiyanto terpilih sebagai Ketua KPK periode 2024-2029. Setyo diketahui menyetujui agar OTT terus dilanjutkan, meskipun dengan evaluasi dan perbaikan sistem. Nasib praktik OTT di KPK akan sangat bergantung pada kebijakan dan kepemimpinan yang akan diterapkan oleh pimpinan KPK yang baru.

Sumber:
https://cnnindonesia.com/nasional/20241121090520-12-1168977/sesat-pikir-capim-kpk-soal-usulan-penghapusan-ott/2

Artikel Terkait

Rekomendasi