Merasa Didiskriminasi dalam Kasus Jual Beli Tanah, Maryadi alias Jojon Minta Keadilan

Author PhotoAbu Bakar S.H
04 Jun 2025
IMG-20250604-WA0022

Tangerang-Portalhukum.ID-Maryadi bin H. Mitar alias Jojon, warga Desa Kedaung Barat Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, mengaku dirinya menjadi korban kriminalisasi dan diskriminasi dalam proses hukum yang tengah dijalaninya di Polsek Panongan.

Ia dijadikan tersangka dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan sebesar Rp100 juta dalam transaksi jual beli tanah di wilayah Patra Manggala.

Menurut Jojon, proses hukum yang ia jalani tidak mencerminkan asas keadilan. Ia menyebutkan bahwa seluruh keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak dijadikan bahan pertimbangan oleh penyidik, meskipun ia telah menunjukkan itikad yang baik untuk menyelesaikan perkara secara kekeluargaan.

“Saya merasa dikriminalisasi. Semua keterangan saya dalam BAP tidak dijadikan pertimbangan penyidik. Padahal, saya sudah menunjukkan itikad baik dengan menitipkan uang ganti rugi sebesar Rp125 juta ke Polsek Panongan,” ujar Jojon saat diwawancarai di Lapas Jambe, Selasa (03/06/2025).

Ia juga mengaku kecewa terhadap upaya mediasi yang menurutnya tidak berjalan adil. Polsek Panongan disebut tidak pernah mempertemukan dirinya dengan pihak pelapor guna menyelesaikan permasalahan secara musyawarah.

Kasus ini bermula ketika Jojon diminta membantu penjualan sebidang tanah milik ahli waris. Dalam pertemuan awal, pihak ahli waris menyampaikan bahwa dokumen tanah berada dalam penguasaan Lurah Pinan dan terdapat Surat Keterangan Waris dari pengadilan yang dibuat oleh notaris Alfianis.

Setelah pengecekan dan pengukuran lahan, disepakati harga jual sebesar Rp30.000 per meter. Jojon lalu menawarkan lahan tersebut kepada beberapa rekannya, yaitu Said, Nedi, dan Leo. Leo calon pembeli melakukan survei lokasi dan pengecekan GPS.

“Setelah Leo menyatakan ketertarikan, saya katakan bahwa butuh dana Rp100 juta untuk mengurus pengambilan surat dari Lurah Pinan. Awalnya Lurah minta Rp1 miliar, tapi setelah negosiasi turun menjadi Rp42 juta,” jelasnya.

Jojon mengklaim bahwa dana yang telah diterima dari saudara Aidil Amin(Pelapor) yang merupakan TNI AD aktif tersebut telah dibagikan secara terbuka: Rp42 juta untuk Lurah Pinan, Rp10 juta untuk Leo, masing-masing Rp12 juta untuk dirinya dan Nedi, serta sisanya diberikan kepada penggarap dan ahli waris tanah.

Namun, transaksi tersebut justru berakhir pada laporan pidana. Jojon pun ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 378 KUHP dan/atau Pasal 372 KUHP tentang penipuan dan penggelapan.

Atas hal tersebut, Jojon mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Tangerang. Ia menilai penetapan status tersangka dilakukan tanpa pemeriksaan yang objektif serta mengabaikan bukti dan keterangannya.

Untuk menjaga keberimbangan informasi, tim awak media menemui Bripka Agung Widodo, SH, selaku penyidik ​​yang menangani kasus ini di Polsek Panongan.

Bripka Agung membenarkan, perkara yang menjerat Maryadi alias Jojon memang sedang ditangani Polsek Panongan. Ia menjelaskan bahwa penetapan status tersangka telah memenuhi unsur minimal dua alat bukti yang sah, yakni bukti transfer dan keterangan Saksi-saksi.

Bripka Agung juga mengkonfirmasi bahwa Maryadi sempat menitipkan uang sebesar Rp125 juta ke Polsek Panongan sebagai bentuk musyawarah atau itikad baik terhadap pihak pelapor. Namun, uang tersebut ditolak oleh pihak pelapor karena dinilai tidak sesuai dengan harapan mereka.

“Saudara Jojon memang pernah menitipkan uang Rp125 juta ke Polsek Panongan sebagai bentuk musyawarah, namun uang itu ditolak oleh pelapor karena dianggap tidak sesuai dengan keinginan mereka,” terang Agung

Penyidik ​​kemudian mengembalikan uang tersebut secara langsung kepada Jojon di tempat kerjanya.

Agung juga menjelaskan bahwa meskipun Jojon telah ditetapkan sebagai tersangka, ia tidak ditahan, bahkan setelah diterbitkan surat panggilan kedua. Beberapa waktu kemudian, Kejaksaan mengeluarkan surat panggilan terhadap Jojon. Panggilan itu ditanggapi Jojon dengan langsung mendatangi Kejaksaan tanpa didampingi oleh pihak kepolisian.

“Itu memang keinginan dari saudara Jojon sendiri untuk datang langsung ke Kejaksaan tanpa pendampingan,” ujar Agung.

Terkait proses restorative justice, Agung menyatakan bahwa kepolisian telah berupaya membuka ruang damai, namun tidak tercapai karena Jojon dinilai tidak kooperatif.

“Kami sudah membuka jalan damai melalui restorative justice, tapi saudara Jojon tidak kooperatif. Karena ada kelalaian dan ketidaktaatan dari pihak Jojon, maka proses hukum tetap berlanjut hingga tersangka,” tegas Agung.

(AB)

Artikel Terkait

Rekomendasi