Nama Zarof Ricar menjadi sorotan publik setelah ditemukan uang hampir Rp 1 triliun yang diduga terkait dengan praktik makelar kasus. Perkara ini melibatkan sejumlah pihak, termasuk Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA), yang memberikan tanggapan terkait dugaan penyimpangan tersebut.
Kasus ini bermula dari proses hukum yang menjerat Gregorius Ronald Tannur atas kematian Dini Sera Afrianti, kekasihnya. Ronald Tannur, anak dari mantan Anggota DPR Edward Tannur, semula divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Namun, di tingkat kasasi, ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Vonis bebas yang sebelumnya dijatuhkan di tingkat pertama memicu kecurigaan adanya suap di balik keputusan tersebut.
Kejaksaan Agung telah menetapkan enam tersangka dalam kasus ini, yaitu Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, yang merupakan hakim majelis di Pengadilan Negeri Surabaya. Selain itu, ada Lisa Rahmat, seorang pengacara; Zarof Ricar, mantan pejabat di Mahkamah Agung yang berperan sebagai makelar kasus; serta Meirizka Widjaja, ibu dari Ronald Tannur.
Dugaan suap bermula dari permintaan Meirizka kepada Lisa Rahmat untuk membantu membebaskan anaknya. Lisa kemudian menghubungi Zarof, yang menjadi perantara ke tiga hakim tersebut. Dari sinilah proses suap menyuap diduga terjadi. Dalam pengembangannya, penyidik Kejaksaan Agung menemukan uang senilai Rp 920 miliar dan emas batangan seberat 51 kilogram di tangan Zarof. Temuan ini diduga merupakan hasil gratifikasi dari berbagai perkara lain di luar kasus Ronald Tannur.
KY turut memberikan perhatian terhadap kasus ini. Pada 7 November 2024, Mukti Fajar Nur Dewata, Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi KY, mengemukakan asumsi bahwa uang hampir Rp 1 triliun itu bisa saja berasal dari sekitar 1.000 kasus, dengan estimasi nilai jasa titipan per kasus mencapai Rp 1 miliar. “Kalau dihitung, dengan melibatkan tiga hakim per kasus, dan jumlah hakim di Indonesia mencapai sekitar 7.800 orang, maka ini menjadi sinyal berbahaya bagi integritas peradilan,” ujar Mukti.
Namun, asumsi ini disanggah oleh Mahkamah Agung melalui juru bicaranya, Yanto, yang menegaskan pentingnya membedakan asumsi dengan fakta hukum. “Hakim bekerja berdasarkan bukti yang sah sesuai aturan perundang-undangan, bukan atas dasar asumsi. Metode dan teori dari asumsi itu harus dipertanyakan,” jelas Yanto pada 18 November 2024.
Sementara itu, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa temuan uang dan aset Zarof masih dalam tahap penelusuran. Abdul Qohar, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), menjelaskan bahwa penyidik masih mendalami asal-usul dan penggunaan dana tersebut. “Jumlah uang yang ditemukan sangat besar, sehingga proses pemeriksaan memerlukan waktu. Zarof sendiri sedang mengingat-ingat dari mana sumber uang itu,” ungkap Qohar.
Kejaksaan Agung juga menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak aliran dana yang diduga hasil dari pengurusan perkara. Penelusuran terhadap aset-aset Zarof serta keterlibatan pihak bank juga tengah dilakukan guna memastikan kejelasan kasus ini. Temuan ini tidak hanya mengungkap potensi pelanggaran hukum besar-besaran, tetapi juga menggambarkan tantangan dalam menjaga integritas sistem peradilan di Indonesia.