Kasus dugaan megakorupsi di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero menjadi sorotan publik seiring lambatnya pengungkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Sejumlah proyek PLN, termasuk proyek di Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel), diduga merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah. Meskipun telah ada penetapan tersangka dalam proyek Sumbagsel, perkembangan kasus tersebut terlihat mandek. Demikian pula, kasus korupsi terkait pengadaan tower transmisi PLN tahun 2016, yang mulai disidik Kejagung pada Juli 2022, hingga kini tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan. Dukungan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir untuk membersihkan kementeriannya pun tampaknya belum membuahkan hasil konkret dalam kasus ini.
Dari informasi yang diungkap oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPidsus), Ketut Sumedana, kasus pengadaan tower ini melibatkan pengadaan sebanyak 9.085 unit tower dengan total anggaran mencapai Rp2,2 triliun. Proyek tersebut dikerjakan oleh PLN bersama Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo) dan 14 penyedia tower lainnya pada tahun 2016. Dalam prosesnya, ditemukan indikasi penyalahgunaan wewenang serta penyusunan dokumen perencanaan yang dianggap melanggar aturan. Ketut menjelaskan bahwa PLN, dalam pengadaan tersebut, mengikuti daftar penyedia terseleksi (DPT) tahun 2015 yang seharusnya sudah diperbarui menjadi DPT 2016, menimbulkan ketidaktransparan dan mencurigakan dalam proses pengadaan tersebut.
Proyek pengadaan tower ini diduga memberikan keuntungan sepihak pada Aspatindo, terutama PT Bukaka yang mendominasi proyek tersebut. Hal ini disebabkan adanya jabatan ganda Ketua Aspatindo yang juga menjabat sebagai Direktur Operasional PT Bukaka. Dalam pelaksanaannya, PT Bukaka bersama 13 perusahaan lainnya yang tergabung dalam Aspatindo, melaksanakan proyek tersebut dengan hasil realisasi hanya mencapai 30 persen. Dalam periode setelahnya, yaitu dari November 2017 hingga Mei 2018, proyek tetap berjalan tanpa adanya landasan hukum yang jelas. Kondisi ini akhirnya memaksa PLN untuk melakukan perpanjangan kontrak selama satu tahun.
KPK juga mengusut kasus dugaan korupsi di proyek lainnya dalam tubuh PLN, termasuk proyek Sumbagsel yang telah mencapai tahap penyidikan dan mengindikasikan adanya penetapan tersangka. Namun, hingga saat ini kasus tersebut belum menunjukan perkembangan yang berarti.
Di luar kasus pengadaan tower, PLN juga menghadapi persoalan korupsi dalam proyek pengadaan kabel dan pekerjaan bor Horizontal Direct Drilling (HDD) untuk menanam kabel bawah tanah di sepanjang jalan-jalan besar di Jakarta. Berdasarkan hasil investigasi, anggaran untuk proyek HDD di PLN sering kali dilaporkan mengalami pembengkakan. Sebagai contoh, proyek pengadaan kabel ini menelan biaya hingga Rp12 juta per meter, sementara sejumlah subkontraktor mengungkap bahwa proyek tersebut bisa dikerjakan dengan harga jauh lebih murah, yaitu sekitar Rp5-6 juta per meter.
Indonesian Ekatalog Watch (INDECH) menyoroti adanya pembengkakan biaya dalam proyek HDD PLN di berbagai daerah Indonesia. Mereka mendesak KPK agar segera memulai penyelidikan atas proyek-proyek besar PLN antara tahun 2016 hingga 2019, termasuk proyek penanaman kabel bawah tanah yang dilakukan di Gandul-Kemang pada tahun 2022. INDECH mencurigai adanya “arisan proyek” di tubuh PLN, di mana beberapa vendor utama seperti PT Kabel Metal Indonesia (KMI), PT Sucaco, PT Berca, dan PT Prysmian Cable secara bergantian mendapatkan proyek-proyek besar di wilayah Sumatra, Jawa, Bali, hingga Makassar.
INDECH mengungkapkan bahwa pekerjaan HDD sebenarnya dapat dikerjakan dengan biaya sekitar Rp2,1 juta per meter. Hal ini terbukti dalam kasus hukum yang pernah ditangani Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang mengonfirmasi bahwa subkontraktor dapat menyelesaikan proyek HDD dengan biaya jauh lebih rendah daripada harga yang diajukan PLN. Dari fakta tersebut, INDECH memperkirakan adanya mark-up sebesar Rp9 juta per meter pada proyek-proyek HDD yang dilakukan PLN di berbagai daerah.
INDECH menegaskan bahwa penyimpangan harga satuan ini dapat menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah mengingat jumlah proyek HDD yang dilakukan setiap tahunnya. Mereka berencana melaporkan kasus ini kepada KPK dengan membawa data dan bukti-bukti pendukung untuk mempercepat proses penyelidikan. Mereka juga meminta agar KPK membuka penyelidikan atas proyek-proyek yang melibatkan vendor-vendor besar tersebut.