Keluar dari Penjara, Tokoh Ini Bangkit Menjadi Raja Otomotif Indonesia

Author Photoportalhukumid
19 Oct 2024
William Soerjadjaja Pendiri PT Astra Internasional
William Soerjadjaja Pendiri PT Astra Internasional

Di balik kesuksesan besar perusahaan otomotif Astra di Indonesia, terdapat perjalanan penuh liku dan tantangan yang dialami oleh pendirinya, Tjia Kian Long, yang kemudian dikenal sebagai William Soeryadjaya. William memulai usahanya pada tahun 1950-an, tetapi perjalanannya tak semulus yang dibayangkan. Ia sempat terjerat kasus hukum yang membuatnya harus mendekam di penjara, setelah dituduh melakukan korupsi, meskipun tuduhan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.

Peristiwa itu menghancurkan reputasi William dan meruntuhkan usaha yang telah ia bangun dengan susah payah. Namun, masa sulit itu tidak membuatnya patah semangat. Begitu bebas dari penjara, William bertekad untuk bangkit kembali. Dengan dukungan dari adiknya, ia memutuskan untuk membeli sebuah perusahaan impor yang kondisinya sudah hampir mati, terletak di Jalan Sabang No. 36A, Jakarta.

Perusahaan tersebut sedang berada di ambang kebangkrutan, dengan bisnis yang berantakan dan kantor yang kecil serta sering kebanjiran. Melihat situasi tersebut, adik William mengusulkan nama baru untuk perusahaan itu, yaitu “Astra.” Nama ini terinspirasi dari sosok dewi dalam mitologi Yunani kuno, yang digambarkan terbang ke langit dan berubah menjadi bintang yang terang. Sang adik berharap bahwa dengan nama tersebut, perusahaan milik abangnya bisa bersinar seperti dewi tersebut.

Pada 20 Februari 1957, setelah resmi terdaftar di kantor Notaris Sie Khwan Djioe, Astra International Inc mulai beroperasi secara resmi. Awalnya, Astra berfokus pada produk-produk kebutuhan rumah tangga. Namun, di tahun-tahun awal operasinya, bisnis ini harus melalui masa-masa sulit. Selama satu dekade pertama, Astra menghadapi banyak tantangan yang hampir membuatnya bangkrut beberapa kali, terutama karena ketidakstabilan ekonomi Indonesia pada era 1960-an.

Keadaan mulai membaik setelah jatuhnya Presiden Sukarno dan naiknya Soeharto sebagai pemimpin baru Indonesia. Stabilitas politik dan ekonomi yang perlahan pulih memberi peluang baru bagi William dan perusahaan Astra. Astra mulai menemukan pijakannya di dunia bisnis.

Peluang emas datang pada tahun 1966, ketika William mendapatkan pinjaman dari Amerika Serikat sebesar 2,9 juta dolar AS. Tidak hanya sekadar pinjaman, ia juga memperoleh hak istimewa untuk mengimpor berbagai barang dari AS. Kesempatan ini menjadi terobosan besar bagi William, yang lahir pada 20 Desember 1922. Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia sedang gencar melaksanakan berbagai proyek pembangunan yang membutuhkan kendaraan truk besar untuk pengangkutan.

Saat itu, persaingan di pasar truk impor tidak begitu ketat, dan William melihat ini sebagai peluang emas untuk memperluas bisnisnya. Ia memutuskan untuk mengimpor truk Chevrolet dari Amerika Serikat dan menjualnya kepada pemerintah Indonesia, yang sangat membutuhkan kendaraan-kendaraan tersebut. Langkah cerdas ini berhasil mengubah nasib Astra, yang kemudian berkembang pesat dan menjadi salah satu raksasa otomotif di tanah air.

Di balik kesuksesan besar perusahaan otomotif Astra di Indonesia, terdapat perjalanan penuh liku dan tantangan yang dialami oleh pendirinya, Tjia Kian Long, yang kemudian dikenal sebagai William Soeryadjaya. William memulai usahanya pada tahun 1950-an, tetapi perjalanannya tak semulus yang dibayangkan. Ia sempat terjerat kasus hukum yang membuatnya harus mendekam di penjara, setelah dituduh melakukan korupsi, meskipun tuduhan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.

Peristiwa itu menghancurkan reputasi William dan meruntuhkan usaha yang telah ia bangun dengan susah payah. Namun, masa sulit itu tidak membuatnya patah semangat. Begitu bebas dari penjara, William bertekad untuk bangkit kembali. Dengan dukungan dari adiknya, ia memutuskan untuk membeli sebuah perusahaan impor yang kondisinya sudah hampir mati, terletak di Jalan Sabang No. 36A, Jakarta.

Perusahaan tersebut sedang berada di ambang kebangkrutan, dengan bisnis yang berantakan dan kantor yang kecil serta sering kebanjiran. Melihat situasi tersebut, adik William mengusulkan nama baru untuk perusahaan itu, yaitu “Astra.” Nama ini terinspirasi dari sosok dewi dalam mitologi Yunani kuno, yang digambarkan terbang ke langit dan berubah menjadi bintang yang terang. Sang adik berharap bahwa dengan nama tersebut, perusahaan milik abangnya bisa bersinar seperti dewi tersebut.

Pada 20 Februari 1957, setelah resmi terdaftar di kantor Notaris Sie Khwan Djioe, Astra International Inc mulai beroperasi secara resmi. Awalnya, Astra berfokus pada produk-produk kebutuhan rumah tangga. Namun, di tahun-tahun awal operasinya, bisnis ini harus melalui masa-masa sulit. Selama satu dekade pertama, Astra menghadapi banyak tantangan yang hampir membuatnya bangkrut beberapa kali, terutama karena ketidakstabilan ekonomi Indonesia pada era 1960-an.

Keadaan mulai membaik setelah jatuhnya Presiden Sukarno dan naiknya Soeharto sebagai pemimpin baru Indonesia. Stabilitas politik dan ekonomi yang perlahan pulih memberi peluang baru bagi William dan perusahaan Astra. Astra mulai menemukan pijakannya di dunia bisnis.

Peluang emas datang pada tahun 1966, ketika William mendapatkan pinjaman dari Amerika Serikat sebesar 2,9 juta dolar AS. Tidak hanya sekadar pinjaman, ia juga memperoleh hak istimewa untuk mengimpor berbagai barang dari AS. Kesempatan ini menjadi terobosan besar bagi William, yang lahir pada 20 Desember 1922. Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia sedang gencar melaksanakan berbagai proyek pembangunan yang membutuhkan kendaraan truk besar untuk pengangkutan.

Saat itu, persaingan di pasar truk impor tidak begitu ketat, dan William melihat ini sebagai peluang emas untuk memperluas bisnisnya. Ia memutuskan untuk mengimpor truk Chevrolet dari Amerika Serikat dan menjualnya kepada pemerintah Indonesia, yang sangat membutuhkan kendaraan-kendaraan tersebut. Langkah cerdas ini berhasil mengubah nasib Astra, yang kemudian berkembang pesat dan menjadi salah satu raksasa otomotif di tanah air.

Dalam buku Industrialisasi di Indonesia: Sejak Rehabilitasi Sampai Awal Reformasi (2000), Bisuk Siahaan mencatat bahwa William Soeryadjaya mengimpor sebanyak 800 truk Chevrolet pada awal mula terjun ke industri otomotif. Dari sinilah cikal bakal kesuksesan William dalam sektor ini dimulai.

Namun, seiring berjalannya waktu, William menghadapi sanksi dari pemerintah Amerika Serikat yang melarangnya mengimpor truk dalam jumlah besar. Keadaan ini memaksanya mencari peluang lain, dan pilihannya jatuh pada pasar otomotif Jepang, yang saat itu masih belum mendominasi Indonesia. Selain itu, kesamaan setir kanan antara Indonesia dan Jepang membuat kendaraan Jepang lebih cocok dan berpotensi sukses di pasar lokal.

Keputusan strategis William untuk menjalin kerjasama dengan Jepang membawa perubahan besar dalam perjalanan Astra. Pada Februari 1969, Astra menandatangani kesepakatan resmi dengan Toyota. Sejak saat itu, truk dan mobil merek Toyota mulai mendominasi jalanan di Indonesia. Astra pun mulai memasarkan merek Jepang lainnya seperti Honda, Isuzu, dan Daihatsu, yang semakin memperkuat dominasi kendaraan Jepang di Tanah Air.

Untuk menguasai pasar otomotif Indonesia, William mengembangkan strategi yang sangat efektif. Dia berinvestasi besar-besaran untuk mengontrol industri otomotif dari hulu ke hilir, mulai dari pembuatan komponen hingga distribusi. Langkah ini membuat Astra memiliki rantai pasokan yang terintegrasi dan efisien, yang menjadi keunggulan kompetitif utama.

Selain itu, William menerapkan sistem manajemen ala Jepang yang dikenal sebagai *Keiretsu*. Melalui sistem ini, direksi di satu perusahaan dapat duduk sebagai komisaris di perusahaan lain dalam grup. Pendekatan ini memungkinkan Astra untuk mengontrol berbagai lini bisnisnya dan mengoptimalkan sinergi antar perusahaan. Kebijakan tersebut, bersama dengan strategi pemberian promo besar-besaran, berhasil menarik minat konsumen dan menguatkan posisi Astra sebagai penguasa pasar.

Pada tahun 1990, berdasarkan data dari Gaikindo, Astra berhasil menguasai lebih dari separuh pangsa pasar otomotif di Indonesia. Produk yang dipasarkan termasuk Toyota, Daihatsu, Isuzu, Nissan Diesel Trucks, Lexus, Peugeot, dan BMW, sebagaimana dicatat oleh Ricardi S. Adnan dalam *The Shifting Patronage* (2010).

Namun, kejayaan William di sektor otomotif tak terbatas pada Astra saja. Dia juga merambah ke bidang lain seperti properti, asuransi, perkebunan, dan perbankan, yang seluruhnya tergabung dalam Grup Astra. Kepercayaan diri ini membawa Astra untuk melantai di bursa saham pada 4 April 1990, menandai babak baru dalam sejarah perusahaan.

Sayangnya, keterlibatan William di sektor perbankan melalui kepemilikan Bank Summa menjadi titik krusial. Pada tahun 1992, Bank Summa mengalami masalah serius yang membuat William harus menjual seluruh sahamnya di Astra untuk menyelamatkan dana para nasabah. Banyak yang beranggapan bahwa krisis ini merupakan bagian dari konspirasi untuk menjatuhkan William dan Astra.

Setelah penjualan saham, William tidak lagi memiliki kendali atas Astra. Saham Astra kemudian berpindah tangan ke beberapa pihak, di antaranya Putra Sampoerna (14,67%), Bob Hasan (8,83%), Prajogo Pangestu (10,68%), Toyota Jepang (8,26%), Kelompok Salim (8,19%), Usman Atmadjaja (5,99%), dan sisanya tersebar di tangan publik.

Saat ini, kepemilikan Astra sepenuhnya berada di tangan perusahaan Singapura, Jardine Cycle & Carriage Ltd, yang menguasai 50,11% dari total saham. Meskipun William tidak lagi menjadi pemilik, pengaruh dan warisan strategi bisnisnya masih terasa hingga kini. Astra tetap menjadi pemimpin pasar otomotif di Indonesia, dan kesuksesan tersebut tidak lepas dari peran besar William Soeryadjaya sebagai pendiri dan arsitek kejayaan perusahaan.

Sumber:
https://www.cnbcindonesia.com/market/20241019011617-17-580977/bebas-dari-penjara-sosok-ini-bangkit-jadi-raja-otomotif-ri

Artikel Terkait

Rekomendasi