Kasus Suami Tikam Istri Hingga Tewas Saat Siaran Langsung Karaoke – Apa Motifnya Dan Mengapa Disebut ‘Femisida’?

Author Photoportalhukumid
09 Nov 2024
Ilustrasi Pembunuhan (www.tempo.co).
Ilustrasi Pembunuhan (www.tempo.co).

Seorang perempuan bernama Hertalina Simanjuntak tragisnya meninggal dunia setelah ditikam oleh suaminya, Agus Herbin, pada Sabtu, 2 November 2024. Kejadian ini terjadi ketika Hertalina sedang bernyanyi karaoke yang disiarkan secara langsung lewat Facebook di rumahnya di Desa Suka Damai, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Kasus ini segera menjadi perhatian banyak pihak, terutama Komnas Perempuan dan aktivis perempuan, yang menyebutnya sebagai femisida—pembunuhan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dengan alasan jenis kelamin korban.

Menurut data yang disampaikan Komnas Perempuan, kasus femisida di Indonesia semakin meningkat dan semakin mengkhawatirkan, dengan ratusan kasus terdeteksi setiap tahunnya sejak 2020. Kasus Hertalina menjadi bagian dari rentetan panjang femisida yang terus terjadi di negara ini.

Kronologi kejadian dimulai ketika Hertalina, yang berusia 46 tahun, mengajak adik-adiknya untuk bernyanyi karaoke bersama di rumah mereka. Kegiatan ini merupakan kebiasaan mereka setiap kali sedang senggang, dan kali ini mereka memutuskan untuk menyiarkan karaoke tersebut secara langsung melalui media sosial. Dalam suasana yang ceria, dengan Hertalina mengenakan daster merah muda, tiba-tiba suaminya, Agus Herbin, pulang dari luar rumah dan tanpa basa-basi langsung mengambil pisau dari keranjang dan menikam Hertalina sebanyak lima kali. Agus tidak memberikan penjelasan terlebih dahulu dan langsung melakukan tindakan tersebut, yang membuat suasana menjadi kacau. Meski anggota keluarga mencoba menolong dan membawa Hertalina ke klinik terdekat, nyawanya tidak tertolong dan dia dinyatakan meninggal dunia setelah tiba di rumah sakit.

Agus mengaku kepada polisi bahwa tindakan brutal tersebut dilakukan karena dia merasa “sakit hati” dan “cemburu” terhadap istrinya. Dia mengklaim bahwa selama pernikahan mereka, yang baru berlangsung satu tahun, sering terjadi pertengkaran. Salah satu pemicu menurut Agus adalah karena istrinya pernah berboncengan dengan mantan suaminya. Namun, pernyataan ini dibantah oleh keluarga Hertalina, yang menyebut alasan tersebut sebagai dalih belaka. Mereka menegaskan bahwa tidak ada hubungan apapun antara Hertalina dengan mantan suaminya, dan bahkan menyebut bahwa Agus yang tidak bertanggung jawab dalam pernikahan tersebut, bahkan sering meminta uang kepada istrinya.

Polisi menangani kasus ini sebagai kasus kriminal, namun Komnas Perempuan dan aktivis perempuan menilai bahwa kejadian ini lebih dari sekadar pembunuhan biasa dan menganggapnya sebagai bentuk femisida. Femisida merujuk pada pembunuhan yang dilakukan terhadap perempuan karena jenis kelamin mereka, dengan motif dominasi, kontrol, dan ketidaksetaraan gender yang mendasarinya. Alasan “cemburu” yang diberikan oleh Agus dianggap sebagai bentuk kekerasan yang seringkali digunakan untuk menutupi ketidaksetaraan dalam hubungan, di mana laki-laki merasa berhak mengontrol pasangannya.

Femisida berbeda dengan pembunuhan biasa karena di dalamnya terdapat unsur kekuasaan dan kontrol, sering kali dilakukan dengan cara yang sadis dan bertujuan untuk mendominasi perempuan. Dalam kasus ini, tindakan Agus yang menikam Hertalina tanpa ampun, dengan alasan “cemburu”, menunjukkan adanya upaya untuk menguasai dan mengendalikan kehidupan istrinya. Cemburu menjadi alasan yang sering muncul dalam kasus-kasus femisida sebagai bentuk kekuasaan laki-laki yang merasa terancam oleh otonomi atau kebebasan perempuan. Menurut Komnas Perempuan, penting untuk memandang peristiwa seperti ini sebagai sebuah bentuk kekerasan ekstrem terhadap perempuan, yang seringkali dimulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan berkembang menjadi femisida.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh berbagai lembaga, jumlah kasus femisida di Indonesia sangat tinggi, dan ini semakin memperburuk masalah ketidaksetaraan gender di masyarakat. Meskipun begitu, data yang tersedia hanya mencakup kasus-kasus yang terlaporkan oleh media, sehingga kemungkinan besar angka sesungguhnya lebih besar. Banyak kasus femisida yang tidak mendapat perhatian atau bahkan tidak dilaporkan. Temuan dari riset Jakarta Feminist menunjukkan bahwa pada tahun 2023 saja, ada 180 kasus femisida yang tercatat, dengan 37% di antaranya berhubungan dengan motif cemburu. Sementara Komnas Perempuan mencatat ada 798 kasus femisida yang terdeteksi sejak 2020.

Salah satu hal yang mengkhawatirkan adalah bahwa femisida sering terjadi di ruang yang seharusnya aman bagi perempuan, yaitu di rumah mereka sendiri, dan dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan. Ini menunjukkan adanya masalah besar dalam hubungan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi perempuan. KDRT yang sering kali dianggap sebagai hal sepele dalam banyak kasus bisa berkembang menjadi kekerasan yang lebih parah dan berujung pada pembunuhan.

Kasus ini menunjukkan pentingnya upaya untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan, termasuk dengan mengakui femisida sebagai bentuk pembunuhan dengan motif dan konteks yang sangat berbeda. Ke depan, Naila Rizqi dari Jakarta Feminist menyarankan agar femisida diakui secara sosial dan hukum, dengan adanya pasal khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memberikan pemberatan hukuman terhadap pelaku femisida. Dengan demikian, hukum dapat lebih tegas dalam menanggapi kasus-kasus seperti ini dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan.

Sumber:
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c5y5p37w455o

Artikel Terkait

Rekomendasi