Pembaharuan hukum terhadap UU Cipta Kerja 2023 setelah pembatalan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan momentum penting untuk memperbaiki aspek regulasi yang selama ini menjadi kontroversi. Putusan MK ini membuka ruang untuk membuat peraturan perundang-undangan yang lebih transparan, adil, dan berpihak pada keseimbangan antara kepentingan investasi dan memberi perlindungan hak pekerja.
Rekonstruksi Prinsip Keadilan
Keputusan MK mengembalikan hak-hak pekerja yang sebelumnya tergerus, seperti hak atas istirahat mingguan dua hari, upah minimum sektoral, dan pembatasan outsourcing. Pembaharuan hukum harus melandaskan diri pada prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 dan Pasal 28D UUD 1945, sehingga kebutuhan dasar pekerja tetap terlindungi. Salah satu kritik utama terhadap UU Cipta Kerja adalah minimnya partisipasi publik. MK menegaskan bahwa pembaharuan hukum ini harus melibatkan serikat pekerja dan masyarakat untuk memastikan transparansi serta substansi yang lebih inklusif. Dengan pendekatan ini, regulasi baru akan lebih diterima oleh semua pihak dan memiliki legitimasi yang kuat.
Keseimbangan antara Investasi dan Perlindungan Pekerja
UU Cipta Kerja sebelumnya terlalu berorientasi pada kepentingan investasi, sehingga menimbulkan ketimpangan. Pembaharuan hukum perlu menjaga keseimbangan antara fleksibilitas bisnis dan perlindungan hak-hak pekerja, misalnya dengan tetap membatasi durasi kontrak kerja (PKWT) dan memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi pekerja alih daya.
Pembaharuan hukum harus memperhatikan sinkronisasi dengan peraturan yang sudah ada, seperti Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan dan Waktu Kerja. Hal ini penting untuk menghindari konflik regulasi yang dapat mempersulit implementasi di lapangan, Sebelumnya UU Cipta Kerja terlalu berorientasi pada kepentingan investasi, sehingga menimbulkan ketimpangan. Pembaharuan hukum perlu menjaga keseimbangan antara fleksibilitas bisnis dan perlindungan hak-hak pekerja, misalnya dengan tetap membatasi durasi kontrak kerja (PKWT) dan memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi pekerja alih daya.
Dapat disimpulkan bahwa Pembaharuan hukum ini merupakan kesempatan untuk memperbaiki regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. Langkah ini harus dilakukan secara hati-hati, melibatkan semua pemangku kepentingan, dan memastikan bahwa regulasi baru tidak hanya responsif terhadap kebutuhan ekonomi, tetapi juga melindungi martabat dan kesejahteraan bagi seluruh pekerja. Reformasi hukum ketenagakerjaan harus dilakukan secara inklusif, melibatkan pekerja, serikat buruh, pengusaha, dan pakar untuk menciptakan sistem yang seimbang.
Ke depan, keputusan ini di harapkan dapat memberikan kejelasan hukum yang lebih baik dan kunci keberhasilan regulasi ini adalah implementasi yang adil dan konsisten, memastikan tidak ada pihak yang dirugikan, baik pekerja maupun pengusaha.