Dalam sistem peradilan modern, hakim memiliki otoritas untuk menjatuhkan putusan yang adil dan proporsional terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Salah satu fenomena yang cukup umum dalam praktik peradilan di Indonesia adalah penggunaan alasan “sopan” sebagai pertimbangan untuk meringankan hukuman. Artikel ini akan membahas secara ilmiah tentang fenomena ini, implikasinya bagi sistem hukum, serta dampaknya terhadap keadilan dalam proses peradilan.
Salah satu contoh yang relevan adalah kasus korupsi yang melibatkan terdakwa Harvey Moeis. Hakim dalam kasus ini menjatuhkan vonis 6,5 tahun penjara dengan alasan bahwa terdakwa berlaku sopan selama persidangan dan sudah berkeluarga. Meski begitu, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar dari Universitas Trisakti mengkritik keras keputusan ini, menyatakan bahwa alasan sopan tidaklah cukup untuk meringankan vonis.
Kontroversi mengenai penggunaan alasan sopan sebagai pertimbangan meringankan hukuman telah menjadi topik diskusi hangat di kalangan akademisi hukum. Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar Wicaksana, menyatakan bahwa banyak putusan yang menggunakan alasan perilaku “sopan” untuk mengurangi hukuman, namun ia menyoalkan apakah alasan tersebut benar-benar meringankan. Dia menekankan bahwa mahkamah agung perlu membuat pedoman pemidanaan yang jelas tentang indikator meringankan dan memberatkan.
Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan beberapa putusan yang menggunakan alasan sopan sebagai pertimbangan meringankan hukuman. Misalnya, Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/PID/2006 menjabarkan hal-hal yang meringankan pidana, termasuk terdakwa berlaku sopan di persidangan, mengakui perbuatannya terus terang, belum pernah dihukum, dan menyesali perbuatannya. Namun, kritik terhadap penggunaan alasan ini tetap berlangsung, dengan beberapa pakar hukum menyoroti bahwa alasan sopan tidak selalu mencerminkan keadilan yang substansial.
Pakar hukum pidana Sapta Aprilianto dari Universitas Airlangga (Unair) mengemukakan bahwa penggunaan alasan sopan untuk meringankan hukuman dapat cederai nilai-nilai hukum seperti keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Ia menekankan bahwa hakim harus mempertimbangkan fakta-fakta hukum dan latar belakang terdakwa secara ketat sebelum menjatuhkan putusan.
Beberapa kasus yang terkenal telah menunjukkan bagaimana alasan sopan digunakan dalam meringankan hukuman. Misalnya, kasus Rachel Vennya yang kabur selama masa karantinan pasca pulang dari Amerika Serikat. Ia tidak dihukum penjara karena bersikap kooperatif selama persidangan, meskipun undang-undang menetapkan hukuman maksimal satu tahun dan denda paling banyak Rp100 juta. Demikian pula dengan kasus Gaga Muhammad yang hanya dihukum 4,5 tahun penjara karena kelalaiannya dalam berkendara, meskipun ancaman hukuman lima tahun penjara.
Implikasi dari penggunaan alasan sopan dalam meringankan hukuman dapat beragam. Pada satu sisi, penggunaan alasan ini dapat meningkatkan citra positif terhadap proses peradilan, terutama dalam situasi di mana terdakwa menunjukkan perilaku yang patut dihargai. Namun, pada sisi lain, kritik terhadap penggunaan alasan ini dapat menimbulkan kecurigaan bahwa keadilan tidak lagi menjadi prioritas utama dalam proses peradilan.
Dampak terhadap keadilan proses peradilan juga perlu dipertimbangkan. Apabila hakim terlalu mudah menggunakan alasan sopan untuk meringankan hukuman, maka keadilan subjektif dapat menggeser keadilan objektif. Oleh karena itu, perlu adanya standar yang jelas dan konsisten dalam aplikasi hukum, sehingga putusan hakim dapat dijamin adil dan proporsional.
Untuk menghindari dampak negatif dari penggunaan alasan sopan, direkomendasikan adanya reformasi hukum yang lebih spesifik. Misalnya, pembuatan instruksi operasional yang jelas oleh Mahkamah Agung tentang indikator meringankan dan memberatkan hukuman. Selain itu, evaluasi periodik terhadap putusan yang menggunakan alasan sopan dapat membantu memastikan bahwa keadilan tidak terganggu.