Pembahasan: Sebab-Sebab Mewaris dalam Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam mengatur bahwa seseorang dapat menjadi ahli waris apabila memenuhi sebab-sebab tertentu yang telah ditentukan oleh syariat. Ada tiga sebab utama yang menjadikan seseorang memiliki hak untuk mewarisi, yaitu:
1. Hubungan Kekerabatan (Qarabah)
Hubungan kekerabatan atau nasab adalah hubungan darah antara pewaris dengan ahli waris yang terjadi karena kelahiran. Dalam hukum Islam, hubungan kekerabatan ini terdiri atas tiga jenis:
a. Garis Keturunan ke Bawah (Furu’)
Garis keturunan ke bawah mencakup:
•Anak (baik laki-laki maupun perempuan).
•Cucu (anak dari anak), dan seterusnya ke bawah.
b. Garis Keturunan ke Atas (Ushul)
Garis keturunan ke atas mencakup:
•Orang tua (ayah dan ibu).
•Kakek dan nenek (dari pihak ayah maupun ibu), dan seterusnya ke atas.
c. Garis Keturunan ke Samping (Hawasyi)
Garis keturunan ke samping mencakup:
•Saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu.
•Anak-anak dari saudara (keponakan).
•Paman dan keturunannya.
Dasar Hukum
Hubungan kekerabatan sebagai sebab mewaris diatur dalam QS. An-Nisa’: 11, 12, dan 176, yang menjelaskan pembagian hak waris untuk masing-masing kategori di atas.
Contoh Kasus
Seorang pewaris meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki yang telah meninggal, dan seorang saudara kandung. Dalam kasus ini, yang menjadi ahli waris utama adalah anak laki-laki, karena garis keturunan ke bawah lebih diutamakan dibandingkan garis keturunan ke samping.
2. Hubungan Perkawinan (Zaujiyah)
Hubungan perkawinan antara suami dan istri yang sah menurut hukum Islam juga menjadi sebab mewaris.
Ketentuan Kewarisan dalam Perkawinan
•Suami berhak mewarisi setengah atau seperempat dari harta istri, tergantung pada ada atau tidaknya anak.
•Istri berhak mewarisi seperempat atau seperdelapan dari harta suami, tergantung pada ada atau tidaknya anak.
Syarat Hubungan Perkawinan
1.Adanya Aqad Nikah yang Sah
Hubungan kewarisan berlaku jika pernikahan telah dilakukan sesuai rukun dan syarat syar’i.
2.Ikatan Perkawinan Masih Berlangsung
Kewarisan hanya berlaku jika ikatan perkawinan masih ada saat salah satu pihak meninggal dunia.
•Jika pasangan bercerai talak raj’i (cerai rujuk) dan masih dalam masa iddah, hak waris tetap ada.
•Jika pasangan bercerai talak bain (cerai tidak bisa rujuk) sebelum salah satu pihak meninggal, hak waris gugur.
Dasar Hukum
•QS. An-Nisa’: 12:
“Dan bagimu (suami-suami) separuh dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu…”
•Pasal 174 KHI: Hanya mengakui hubungan darah dan hubungan perkawinan sebagai sebab mewaris.
Contoh Kasus
Seorang suami meninggal dunia, dan ia memiliki seorang istri yang masih dalam ikatan perkawinan. Dalam kasus ini, istrinya berhak mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan karena mereka tidak memiliki anak.
3. Hubungan Wala’
Hubungan wala’ adalah hubungan yang muncul ketika seseorang memerdekakan budak. Orang yang memerdekakan budak memiliki hak untuk mewarisi budak tersebut jika ia meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris.
Dasar Hukum
•Hadis Nabi SAW:
“Hak wala’ itu hanya untuk orang yang telah memerdekakannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Tujuan Wala’ dalam Hukum Waris
Tujuan utama menjadikan wala’ sebagai sebab kewarisan adalah untuk mendorong pembebasan budak. Dengan memberikan hak waris kepada orang yang memerdekakan, Islam berusaha menghapuskan sistem perbudakan yang umum pada masa itu.
Konteks Modern
Dalam konteks saat ini, hubungan wala’ tidak lagi relevan karena sistem perbudakan telah dihapuskan. Oleh karena itu, dalam Pasal 174 KHI, wala’ tidak disebutkan sebagai sebab kewarisan.
Perbandingan Sebab Kewarisan antara Fiqih dan KHI
•Fiqih Klasik: Mengenal tiga sebab kewarisan, yaitu kekerabatan (qarabah), perkawinan (zaujiyah), dan wala’.
•KHI: Hanya menyebutkan dua sebab kewarisan, yaitu hubungan darah dan hubungan perkawinan, dengan menghapus hubungan wala’ karena tidak relevan dalam konteks modern.
Kesimpulan
Sebab-sebab mewaris dalam hukum Islam mencerminkan prinsip keadilan dan kesetaraan, serta bertujuan untuk menjaga hak-hak keluarga dalam berbagai keadaan. Adanya penyesuaian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menunjukkan fleksibilitas hukum Islam untuk mengikuti perkembangan zaman, tanpa menghilangkan esensi dari syariat.